Romansa Bandung

Bagaimana Bunyi Bahasa Sunda Kuno?

Salah Satu Prasasti yang memuat bunyi Bahasa Sunda Kuno

“Meskipun Bahasa Sunda kuno sudah tidak banyak digunakan, namun pengaruhnya masih melekat kuat pada bahasa Sunda Modern. “

RomansaBandung.com – Salah satu sifat sebuah bahasa ialah dinamis, dimana dia akan berubah dan bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. 

Begitu pula yang terjadi pada Bahasa Sunda, sebelum mengenal bentuk penggunaan bahasa Sunda modern di abad sekarang. Bahasa Sunda juga memiliki bahasa pendahulu yang kemudian lebih dikenal sebagai bahasa Sunda Kuno. Bahasa Sunda ini diperkirakan ada hingga abad ke-17. 

Meskipun masih sama-sama bahasa Sunda namun ada banyak sekali perbedaan di antara keduanya. Di dalam bahasa Sunda Kuno sobat sekalian tidak akan pernah menemukan adanya kosakata serapan dari bahasa arab. Hal ini terjadi lantaran penggunaan bahasa Sunda Kuno terjadi sebelum terjadinya Islamisasi di Jawa Barat. 

Lalu tidak adanya jenjang penggunaaan bahasa atau bisa dikenal sebagai Undak Usuk Bahasa. Sebab musababnya ialah Kesultanan Mataram yang memperkenalkan penggunaan aturan itu baru menguasai Jawa Barat di abad ke-17.

Nah… sekarang Sobat tentunya sangat penasaran bagaimana bunyi bahasa Sunda Kuno? Apakah kosakatanya mirip dengan bahasa Sunda Modern?. Oke deh… disini mimin langsung saja kasih beberapa kalimat bahasa Sunda Kuno yang didasarkan dari berbagai Prasasti yang pernah ditemukan di Jawa Barat dan juga naskah-naskah Sunda Pra-Islam. 

Prasasti Rumatak di Tasikmalaya Abad ke-11

Prasasti ini merupakan satu temuan prasasti tertua yang memuat penggunaan bahasa Sunda Kuno. Prasasti ini berada di Kabupaten Tasikmalaya tepatnya sekitaran area Gunung Galunggung dan merupakan peninggalan dari kerajaan Galuh. 

Prasasti ini terdiri dari tiga baris ditulis dalam aksara kawi dan bunyinya seperti ini, 

tra ba I gune apuy na
sta gomati sakakala rumata
k disusuk ku batari hyang pun

Terjemahan

(Pada tahun) 1033 (Saka)(Ibukota) Ruma(n)tak diperkuat (pertahanannya) oleh Batari Hyang. 

Prasasti Astana Gede Kawali

Prasasti Astana Gede Kawalli (id.wikipedia.org)

Prasasti ini berada di Desa Kawali, Kabupaten Ciamis. Isinya memuat tugu peringatan untuk mengenang kehebatan Prabu Niskala Wastu Kencana, seorang putra Prabu Linggabuana. Linggabuana sendiri adalah raja Sunda yang tewas di lapangan bubat, Majapahit.

Prasasti ini terdiri dari beberapa buah prasasti dan menggunakan bahasa Sunda kuno sebagai bahasa utamanya. Disini mimin akan kasih satu buah contoh isi dan bunyi bahasa Sunda Kuno yang termuat di dalam salah satu prasasti. 

  1. nihan tapak wa-
  2. lar nu sang hyang mulia tapa(k) i-
  3. nya parĕbu raja wastu
  4. mangadĕg di kuta ka-
  5. wali nu mahayu na kadatuan
  6. surawisesa nu marigi sa-
  7. kuliling dayĕh nu najur sakala
  8. desa aya ma nu pa(n)deuri pakĕna
  9. gawe rahayu pakĕn hebel ja
  10. ya dina buana

Terjemahan

  1. Inilah jejak (tapak) (di) Kawa
  2. li (dari) tapa dia
  3. Yang Mulia Prabu Raja Wastu (yang)
  4. mendirikan pertahanan (bertahta di) Ka
  5. wali, yang telah memperindah kedaton
  6. Surawisesa, yang membuat parit pertahanan di
  7. sekeliling wilayah kerajaan, yang memakmurkan seluruh
  8. pemukiman. Kepada yang akan datang, hendaknya
  9. menerapkan keselamatan sebagai landasan kemenangan
  10. hidup di dunia.

Prasasti Batutulis, Bogor

Prasasti Batutulis di tahun 1920. (Tropenmuseum)

Prasasti Batutulis ini diperkirakan berasal dari peninggalan Kerajaan Sunda dan dulu kala diyakini letaknya tepat di pusat kota Kerajaan Sunda. Isinya memuat keagungan dan kebesaran salah seorang Raja Sunda  bernama Sri Baduga Maharaja. 

Semantara itu rangka tahun dalam prasasti itu adalah tahun 1455 Saka (1533 M) dan memuat penggunaan bahasa Sunda Kuno. Bunyi prasasti itu kurang lebih seperti ini, 

  • Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun,
  • diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana
  • di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata
  • pun ya nu nyusuk na pakwan
  • diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang
  • ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi

Terjemahan

  • Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum
  • Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana,
  • dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
  • Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
  • Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.
  • Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida,membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka “Panca Pandawa Mengemban Bumi”

Naskah Perjalanan Bujangga Manik

Contoh yang terakhir ini adalah suatu naskah yang cukup terkenal karena memuat kisah perjalanan seorang Pangeran Kerajaan Sunda yang memilih hidup sebagai seorang resi (ahli agama). 

Dikisahkan namanya Pangeran Bujangga Manik, seorang keluarga Raja Sunda. Meskipun pangeran ini adalah seorang keluarga pembesar kerajaan tapi dia sama sekali tidak berminat untuk hidup di dalam lingkungan istana. Sang pangeran ini malah tertarik untuk menjadi seorang Resi. Maka ditinggalkanlah istana kerajaannya itu dan berpetuanglah dia mengelilingi Pulau Jawa hingga Bali untuk memperdalam agama.

Diperkirakan sang pangeran hidup di abad ke-15 karena dia telah mengenal adanya Majapahit dan Demak yang mana di abad itu keduanya telah menjadi kekuatan politik besar di Nusantara. Penggunaan bahasa Sunda Kuno yang sama sekali tidak memuat satu pun kosakata serapan bahasa Arab semakin menguatkan dugaan itu. 

Kini naskah ini tersimpan di Perpustakaan Oxford, Inggris. Bagi sobat yang penasaran bagaimana bunyi bahasa Sunda Kuno di dalam Naskah itu. Ini mimin kasih,    

Nyiar lemah pamasaran/nyiar tasik panghayutan/pigeusaneun aing paeuh/pigeusaneun nunda raga.”

(Mencari tempat pekuburan/mencari telaga untuk tenggelam/tempat kematianku/tempat meninggalkan badan.”

“Sadiri aing ti inya/sacunduk ka Gunung Ratu/Sanghiang Karang Carencang/eta huluna Cisokan/landeuhan bukit Patuha/heuleut-heuleut Lingga Payung/nu awas ka Kreti Haji/momogana teka waya/neumu lemah kabuyutan/na lemah ngalingga manik.”

(Sepergiku dari sana/sampai ke Gunung Ratu/Sanghiang Karang Carengcang/itulah hulu sungai Cisokan/di kaki Gunung Patuha/batas antara Lingga Payung/yang bisa memandang jelas ke Kreti Haji/berharap semoga terbukti menemukan tanah yang suci/tempat yang menyerupai tiang permata.)