Romansa Bandung

Bandung era Kolonial: Segregasi Pemukiman di Parijs van Java

Jalan Braga di Kota Bandung Tahun 1930-an. (tropenmuseum)

“Di masa kolonial Belanda, Bandung menjadi cerminan ketimpangan sosial yang tertanam dalam kebijakan segregasi rasial.”

RomansaBandung.com – Pada awal abad ke-20, Bandung, kota yang kini dikenal dengan kesejukan udaranya dan keindahan arsitektur kolonialnya, menyimpan jejak sejarah yang tak terhapuskan oleh waktu.

Di masa kolonial Belanda, Bandung menjadi cerminan ketimpangan sosial yang tertanam dalam kebijakan segregasi rasial.

Kota ini, yang awalnya hanyalah desa kecil di dataran tinggi Priangan, tiba-tiba menjelma menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi Jawa Barat setelah pemerintah kolonial memindahkan pusat administratif dari Batavia ke Bandung pada tahun 1920-an.

Namun, di balik kemegahan Braga yang kini ramai oleh turis dan pencinta sejarah, tersembunyi cerita pemisahan antara dua dunia yang berbeda: dunia orang Eropa dan dunia pribumi.

Pemisahan ini tidak hanya terlihat dari perbedaan status sosial, tetapi juga tertulis jelas di peta kota yang dirancang dengan sangat cermat oleh pemerintah kolonial.

Segregasi Pemukiman

Orang Eropa ditempatkan di utara, di kawasan-kawasan elit seperti Dago dan Braga, di mana mereka bisa menikmati udara sejuk dan akses mudah ke fasilitas terbaik. 

Di sana, rumah-rumah bergaya kolonial berdiri megah, diapit jalan-jalan lebar yang beraspal rapi. 

Air bersih dan sanitasi modern juga tersedia dengan mudah, menciptakan lingkungan yang nyaman bagi mereka yang diberi hak istimewa oleh pemerintah kolonial. 

Di pusat kota, bangunan seperti Hotel Savoy Homann dan Gedung Merdeka menjadi ikon kemewahan dan pusat kegiatan masyarakat Eropa, sementara pribumi hanya menjadi penonton dari pinggir kota.

Sementara itu, di bagian selatan Bandung, masyarakat pribumi hidup dalam kondisi yang jauh berbeda. 

Di daerah seperti Kebon Kalapa, pemukiman mereka tidak mendapat perhatian yang sama dari pemerintah. 

Jalan-jalan yang sempit, sanitasi yang buruk, dan infrastruktur yang minim membuat kawasan ini terasa seperti dunia yang terpisah dari gemerlap pusat kota. 

Masyarakat pribumi sebagian besar bekerja sebagai buruh atau pelayan bagi kaum Eropa, sementara hak-hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan hanya dapat diakses oleh segelintir orang.

Hak Ekslusif Orang Eropa

Beberapa bangunan di Jalan Asia Afrika seperti Gedung Merdeka, Savoy Homann dll khusus diperuntukkan bagi warga Eropa. (id.wikipedia.org)

Pemisahan ini tidak hanya fisik, tetapi juga sosial.

 Orang Eropa memiliki hak istimewa yang melampaui sekadar pemukiman. Klub-klub sosial eksklusif, rumah sakit, hingga sekolah-sekolah dirancang khusus untuk mereka. 

Transportasi umum pun tidak luput dari aturan diskriminatif—kelas penumpang dibedakan berdasarkan ras, mencerminkan betapa dalamnya segregasi yang diterapkan.

Dalam perjalanannya, Bandung berkembang menjadi kota yang indah dengan warisan arsitektur yang megah. 

Namun, di balik setiap batu bata bangunan kolonial, tersembunyi sejarah panjang ketimpangan dan pemisahan yang memengaruhi struktur sosial kota hingga hari ini. 

Setelah kemerdekaan, Bandung berangsur-angsur berubah. Kawasan-kawasan yang dulu menjadi wilayah eksklusif orang Eropa kini terbuka untuk semua, menjadikannya pusat wisata sejarah dan budaya yang kaya. 

Tetapi, jejak sejarah segregasi tersebut masih bisa dirasakan, memberikan kita pelajaran berharga tentang masa lalu kota yang pernah berada dalam bayang-bayang kolonialisme.