Carita Parahyangan: Naskah Kuno yang Mengisahkan Sejarah Tanah Sunda
RomansaBandung.com – Carita Parahyangan (aksara Sunda: adalah salah satu naskah Sunda kuno yang memiliki nilai sejarah yang tinggi.
Dibuat pada akhir abad ke-16, naskah ini menceritakan perjalanan sejarah Tanah Sunda, khususnya mengenai dua pusat kekuasaan utama, yaitu Kadatuan Galuh dan Kadatuan Pakuan.
Naskah ini menjadi bagian penting dari koleksi Museum Nasional Indonesia di Jakarta dengan nomor register Kropak 406.
Karakteristik dan Kajian Terhadap Naskah
Naskah Carita Parahyangan terdiri dari 47 lembar daun lontar dengan ukuran 21 × 3 cm.
Setiap lembar diisi dengan empat baris tulisan yang ditulis menggunakan aksara Sunda Kuno.
Bentuk dan metode penulisan ini menunjukkan teknik dokumentasi dan penyimpanan informasi yang khas pada masa itu.
Penelitian terhadap naskah ini pertama kali dilakukan oleh K.F.
Holle, dan kemudian dilanjutkan oleh C.M. Pleyte.
Poerbatjaraka mengalihbahasakan naskah ini sebagai bagian dari laporannya mengenai Batu Tulis di Bogor.
Upaya ini diteruskan oleh H. ten Dam pada tahun 1957 dan J.
Noorduyn dalam laporan penelitiannya pada tahun 1962 dan 1965.
Beberapa sarjana Sunda seperti Ma’mun Atmamiharja, Amir Sutaarga, Aca, Ayatrohaédi, Édi S.
Ékajati, dan Undang A. Darsa juga melakukan penelitian lebih lanjut mengenai naskah ini.
Isi Kandungan Naskah
Carita Parahyangan menceritakan sejarah panjang Kerajaan Sunda, mulai dari masa awal kerajaan Galuh pada zaman Wretikandayun hingga runtuhnya Pakuan Pajajaran akibat serangan dari Kesultanan Banten, Cirebon, dan Demak.
Naskah ini menggambarkan berbagai peristiwa penting, tokoh-tokoh berpengaruh, serta konflik dan peperangan yang terjadi sepanjang sejarah tersebut.
Salah satu peristiwa terkenal yang diceritakan dalam naskah ini adalah Perang Bubat.
Dalam bagian yang mengisahkan tentang Prabu Maharaja, disebutkan bahwa ia mengalami nasib buruk karena anaknya.
Tuntutan yang terlalu banyak dari sang putri mengakibatkan mereka pergi ke Jawa dan terjadilah perang di Majapahit.
Berikut kutipan dari naskah tersebut:
Manak deui Prebu Maharaja, lawasniya ratu tujuh tahun, kena kabawa ku kalawisaya, kabancana ku seuweu dimanten, ngaran Tohaan. Mundut agung dipipanumbasna. Urang réya sangkan nu angkat ka Jawa, mumul nu lakian di Sunda. Pan prangrang di Majapahit.
Terjemahan:
Karena anak, Prabu Maharaja yang menjadi raja selama tujuh tahun, kena bencana, terbawa celaka oleh anaknya, karena Putri meminta terlalu banyak. Awalnya mereka pergi ke Jawa, sebab putri tidak mau bersuami orang Sunda. Maka terjadilah perang di Majapahit.
Naskah ini juga mengisahkan tentang Prabu Surawisesa, putra Ratu Jayadewata, yang memerintah Kerajaan Sunda dalam masa yang penuh dengan tantangan, termasuk pemberontakan di beberapa wilayah seperti Banten, Sunda Kalapa, dan Cirebon.
Prabu Surawisesa dikenal memimpin seribu prajurit dalam 15 kali perang. Berikut kutipan dari naskah tersebut:
Disilihan inya ku Prebu Surawisésa, inya nu surup ka Padarén, kasuran, kadiran, kuwamén. Prangrang limawelas kali hanteu éléh, ngalakukeun bala sariwu. Prangrang ka Kalapa deung Aria Burah. Prangrang ka Tanjung. Prangrang ka Ancol kiyi. Prangrang ka Wahanten girang. Prangrang ka Simpang. Prangrang ka Gunungbatu. Prangrang ka Saungagung. Prangrang ka Rumbut. Prangrang ka Gunung. Prangrang ka Gunung Banjar. Prangrang ka Padang. Prangrang ka Panggoakan. Prangrang ka Muntur. Prangrang ka Hanum. Prangrang ka Pagerwesi. Prangrang ka Medangkahiyangan. Ti inya nu pulang ka Pakwan deui. hanteu nu nahunan deui, panteg hanca di bwana. Lawasniya ratu opatwelas tahun.
Terjemahan:
Disilihan oleh Prabu Surawisesa, ia yang turun ke Padarén, kasuran, kadiran, kuwamén. Berperang lima belas kali tanpa kalah, memimpin seribu bala. Berperang ke Kalapa bersama Aria Burah. Berperang ke Tanjung. Berperang ke Ancol. Berperang ke Wahanten Girang. Berperang ke Simpang. Berperang ke Gunungbatu. Berperang ke Saungagung. Berperang ke Rumbut. Berperang ke Gunung. Berperang ke Gunung Banjar. Berperang ke Padang. Berperang ke Panggoakan. Berperang ke Muntur. Berperang ke Hanum. Berperang ke Pagerwesi. Berperang ke Medangkahiyangan. Ia yang kembali ke Pakwan lagi. Tidak ada yang mengganggu lagi, tetap kokoh di dunia. Memerintah selama empat belas tahun.
Carita Parahyangan menyebutkan banyak nama tempat yang berada dalam kekuasaan Sunda dan juga tempat-tempat lain di pulau Jawa dan Sumatra.
Sebagian besar nama-nama tempat tersebut masih ada sampai sekarang. Beberapa di antaranya adalah:
- Ancol: Jakarta Utara
- Cirebon: Cirebon
- Galuh: Kerajaan Galuh
- Kalapa: Sunda Kalapa (Jakarta)
- Pajajaran: Pakuan Pajajaran (Bogor)
- Banten Girang: Banten Girang