Dipati Ukur: Pahlawan Terlupakan atau Pemberontak yang Misterius
RomansaBandung.com – Dipati Ukur, juga dikenal sebagai Wangsanata atau Wangsataruna, adalah seorang bangsawan yang memerintah Tatar Ukur pada abad ke-17.
Kata “Tatar” dalam bahasa Sunda mengacu pada wilayah atau tanah. Gelar “dipati” (adipati) adalah gelar bupati yang digunakan sebelum zaman kemerdekaan.
Dipati Ukur pernah menyerang VOC di Batavia atas perintah Sultan Agung dari Kesultanan Mataram pada tahun 1628, tetapi serangan itu gagal, dan akhirnya ia ditangkap dan dihukum mati oleh Mataram.
Beragam versi asal-usul Dipati Ukur
Kisah tentang Dipati Ukur memiliki berbagai versi yang kontroversial, termasuk versi dari Galuh, Sukapura, Sumedang, Bandung, Talaga, Batavia, Banten, dan Mataram.
Dari delapan versi yang ada, hanya tiga versi yang menyajikan pandangan positif tentang perjuangan Dipati Ukur dalam mendukung kedaulatan negeri Sunda melawan intervensi Mataram dan Belanda.
Menurut salah satu versi asal usul, Dipati Ukur adalah keturunan dari Kerajaan Jambu Karang di wilayah Karesidenan Banyumas.
Seorang bangsawan Arab bernama Syarif Abdurahman al-Qadri datang ke Jambu Karang dan menyebarkan agama Islam.
Setelah menang dalam sebuah duel, ia menikahi putri Sunan Jambu Karang, yang kemudian melahirkan keturunan yang akan menjadi Dipati Ukur.
Dipati Ukur kemudian menjadi penguasa Tatar Ukur, yang meliputi sebagian besar wilayah Jawa Barat, setelah Kerajaan Pajajaran runtuh.
Ia dinikahkan dengan Nyi Gedeng Ukur dan menggantikan posisi Adipati Ukur Agung. Wilayah kekuasaannya mencakup sejumlah daerah di Jawa Barat yang dikenal sebagai Ukur Sasanga.
Selanjutnya, Dipati Ukur diangkat menjadi Bupati Wedana Priangan, menggantikan Pangeran Dipati Rangga Gede.
Di bawah pemerintahannya, Sumedang Larang, yang sebelumnya menjadi bagian dari Kerajaan Pajajaran, bergabung dengan Kesultanan Mataram pada tahun 1620.
Pada tahun 1627, Dipati Ukur menggantikan Pangeran Dipati Rangga Gede setelah pasukan Banten menyerang Sumedang Larang.
Kegagalan di Batavia dan Pemberontakan
Pada tahun 1628, Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur dan Tumenggung Bahurekso untuk menyerang VOC di Batavia.
Namun, serangan itu berakhir dengan kegagalan, dan Dipati Ukur bersama sebagian pasukannya bersembunyi di Gunung Pongporang.
Sultan Agung mengutus Bahurekso untuk menangkap Dipati Ukur, dan terjadilah serangkaian pertempuran antara pasukan Mataram dan pengikut Dipati Ukur.
Akhirnya, Dipati Ukur tertangkap pada tahun 1632 dan dihukum mati di Mataram.
Versi lain mengklaim bahwa Dipati Ukur tertangkap di lokasi yang berbeda, seperti Cengkareng, oleh tiga umbul dari Priangan Timur.
Dipati Ukur kemudian dibawa ke Mataram dan dihukum mati pada tahun 1632.
Kisah tentang Dipati Ukur adalah bagian penting dari sejarah Jawa Barat yang mencerminkan perjuangan melawan penjajahan dan upaya mempertahankan kedaulatan daerah tersebut.
Namun, karena berbagai versi yang ada, sejarahnya masih menjadi perdebatan dan kontroversi.