Jejak Raja Pertama Sunda di Prasasti Ciaruteun
RomansaBandung.com – Di tengah hamparan tanah Jawa Barat, tepatnya di dekat Ciampea, tak jauh dari Buitenzorg (kini Bogor), sebuah batu besar ditemukan pada tahun 1863.
Batu ini, yang kini dikenal sebagai Prasasti Ciaruteun, memuat ukiran aksara purba yang telah memancing minat para peneliti dan sejarawan. Batu berukir tersebut ditemukan di Kampung Muara, di tepi aliran Ci Aruteun, salah satu anak sungai Cisadane.
Seiring waktu, batu ini menjadi saksi bisu dari masa lampau, membawa pesan yang ditinggalkan oleh raja besar yang pernah berkuasa di tanah ini.
Penemuan dan Penyelamatan
Setelah ditemukan, Prasasti Ciaruteun segera dilaporkan oleh pemimpin Bataviasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, lembaga yang kini dikenal sebagai Museum Nasional di Jakarta.
Prasasti tersebut menjadi sorotan karena aksara Pallawa yang diukirkan di atasnya, mengungkapkan petunjuk penting tentang sejarah kerajaan di nusantara.
Namun, alam memiliki cara untuk menguji kekuatan manusia dan warisan mereka.
Pada tahun 1893, banjir besar menerjang kawasan tersebut, menyebabkan batu prasasti ini terseret beberapa meter ke hilir sungai.
Bagian batu yang bertulisan menjadi terbalik, membuatnya lebih sulit untuk diakses dan dipahami.
Tidak ingin kehilangan warisan berharga ini, pada tahun 1903, upaya dilakukan untuk memindahkan prasasti ini kembali ke tempat asalnya.
Lebih dari tujuh dekade kemudian, pada tahun 1981, Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memutuskan untuk mengangkat dan memindahkan prasasti ini sekali lagi.
Mereka khawatir banjir bandang dapat menyeretnya kembali, sehingga memutuskan untuk melindungi prasasti ini di bawah bangunan pendopo, menjaga dari cuaca dan tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.
Replika dari prasasti ini kini dapat ditemukan di Museum Nasional Indonesia, Museum Sejarah Jakarta, dan Museum Sri Baduga di Bandung, memastikan bahwa pesan dari masa lalu ini tetap dapat diakses oleh generasi mendatang.

Pesan dari Batu yang Berukir
Prasasti Ciaruteun, yang dibuat dari batu kali atau batu alam seberat delapan ton dan berukuran 200 cm kali 150 cm, memuat pesan penting yang ditinggalkan oleh Raja Purnawarman, penguasa negeri Tarumanagara.
Pada permukaan batu, terdapat ukiran aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta, dengan metrum Anustubh yang terdiri dari empat baris.
Di bagian atas tulisan, terlihat pahatan sepasang telapak kaki, gambar umbi, sulur-suluran, dan laba-laba, menambah misteri dan makna simbolis dari prasasti ini.
Ukiran aksara tersebut berbunyi:
“vi kkrā nta syā va ni pa teḥ
śri ma taḥ pū rṇṇa va rmma ṇaḥ
tā rū ma na ga re ndra sya
vi ṣṇo ri va pa da dva ya m“
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, prasasti tersebut menyatakan:
“Inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu (pemelihara) ialah telapak yang mulia sang Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia.”
Ukiran telapak kaki yang ditemukan pada prasasti ini bukanlah sekadar hiasan.
Bagi masyarakat Tarumanagara, cap telapak kaki adalah lambang kekuasaan dan kedaulatan raja atas tanah yang ditempati prasasti tersebut.
Dengan mengukirkan tanda ini, Raja Purnawarman menegaskan posisinya sebagai penguasa tertinggi, setara dengan Dewa Wisnu yang dikenal sebagai dewa pelindung dalam tradisi Hindu.
Prasasti ini, dengan demikian, bukan hanya sekadar tanda kepemilikan tanah, tetapi juga pernyataan politik dan spiritual, mencerminkan kekuasaan dan tanggung jawab raja untuk melindungi rakyatnya.