Romansa Bandung

Jejak Sejarah Terlupakan: Makam dan Nisan Misterius di Tengah Kota Bandung

Makam Letnan Tionghoa Pertama di Bandung

“Sebagian dari kompleks makam ini terkait erat dengan sejarah di Bandung. Sayangnya, banyak dari mereka yang sekarang sudah hampir terlupakan oleh warga sekitarnya.”

RomansaBandung.com – Di tengah hiruk-pikuk kota Bandung yang modern, tersembunyi sejumlah kompleks makam yang mengandung sejarah panjang dan kisah-kisah menarik.

Beberapa di antaranya bahkan terletak di tengah pusat kota, namun sering terabaikan oleh perubahan zaman.

Makam-makam ini menjadi tempat peristirahatan abadi bagi keluarga-keluarga yang telah lama berakar di kota Bandung.

Sebagian dari kompleks makam ini terkait erat dengan sejarah Pasar Baru di Bandung. Sayangnya, banyak dari mereka yang sekarang sudah hampir terlupakan oleh warga sekitarnya.

Di jalan-jalan seperti Jl. Cipaganti, Jl. Siti Munigar, Jl. Sukajadi, Jl. Cihampelas, Jl. Kiaracondong, dan lainnya, makam-makam ini menjadi bagian dari sejarah yang semakin tenggelam dalam kepadatan perkotaan.

Meski demikian, ada pula kompleks makam yang masih terawat dengan baik karena berada di bawah pengawasan lembaga atau yayasan milik keluarga, seperti kompleks makam bupati Bandung yang terletak di Jl. Karanganyar dan Jl. Dalem Kaum.

Makam Letnan Pertama Tionghoa di Bandung

Namun, cerita menarik tidak hanya terbatas pada makam-makam. Beberapa nisan yang tersebar di sudut-sudut kota juga memiliki kisah uniknya sendiri.

Salah satu nisan yang baru-baru ini ditemukan adalah milik seorang pemimpin masyarakat Tionghoa di Bandung pada masa lalu, Luitenant Oeij Bouw Hoen.

Nisan ini ditemukan melekat pada tembok belakang sebuah rumah di tengah permukiman padat di Babakan Ciamis.

Sayangnya, sedikit yang dapat bercerita tentang nisan ini, karena mayoritas penduduk di sekitarnya adalah pendatang dari berbagai daerah lain di Pulau Jawa.

Pada masa penjajahan Hindia Belanda, pemerintah membagi masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu Eropa, Timur Asing, dan Pribumi.

Setiap golongan memiliki mediator yang bertanggung jawab menjembatani hubungan antara warga dan pemerintah.

Di kalangan komunitas Tionghoa di sekitar Pasar Baru, ada seorang pemimpin yang bertanggung jawab atas berbagai aspek sosial warganya.

Pemimpin wilayah ini disebut sebagai wijkmeester, yang bekerja di bawah pengawasan seorang Letnan.

Meskipun komunitas Tionghoa di Bandung pada masa lalu relatif kecil dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya seperti Batavia, Semarang, atau Surabaya, Bandung memiliki sejarahnya sendiri.

Jabatan wijkmeester tertinggi di Bandung hanya sampai tingkat Letnan, berbeda dengan kota-kota besar yang memiliki jabatan hingga Kapiten atau Mayor.

Kota Bandung hanya memiliki tiga Letnan Tionghoa, yang pertama adalah Luitenant Oeij Bouw Hoen, yang menjabat antara tahun 1881-1882.

Jabatan ini dilanjutkan oleh Tan Hay Long (1882-1888) dan kemudian oleh putranya, Tan Joen Liong (1888-1917).

Tan Hay Long sendiri adalah salah satu pendiri Klenteng Hiap Thian Kong (Kuil Para Dewa), yang sekarang dikenal sebagai Vihara Satya Budhi di Jl. Klenteng, Bandung.

Sebuah nisan yang terabaikan mengungkapkan sebagian dari warisan berharga ini di tengah gemerlapnya kota Bandung yang modern.