Kampung Naga: Kampung Dimana Tradisi Sunda Masih Terpelihara
RomansaBandung.com – Kampung Naga, sebuah perkampungan tradisional Sunda, terletak di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Ini adalah tempat di mana budaya dan adat istiadat nenek moyang masih dijunjung tinggi dengan kokoh.
Seperti permukiman Badui, Kampung Naga menjadi objek penelitian antropologi yang mengungkap kehidupan masyarakat pedesaan Sunda saat bergeser dari pengaruh Hindu ke pengaruh Islam di Jawa Barat.
Asal Usul Yang Tidak Pasti
Kisah sejarah Kampung Naga sendiri mungkin telah terkubur dalam kabut waktu.
Tidak ada catatan pasti tentang pendiriannya, dan asal-usulnya tetap menjadi misteri.
Warga setempat menyebutnya dengan istilah “pareum obor,” yang dalam bahasa Indonesia berarti “matinya penerangan.”
Namun, alasan di balik sebutan ini berkaitan dengan sejarah yang tak terang.
Masyarakat Kampung Naga percaya bahwa arsip sejarah mereka hancur dalam pembakaran oleh Organisasi DI/TII Kartosoewiryo pada tahun 1956.
Ada juga versi lain tentang sejarah kampung ini.
Salah satunya berkisar pada kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, yang mengutus seorang abdi bernama Singaparana untuk menyebarkan agama Islam di wilayah barat.
Di daerah yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Singaparana dikenal sebagai Sembah Dalem Singaparana oleh penduduk Kampung Naga.
Menurut legenda, Singaparana mendapatkan petunjuk untuk menetap di Kampung Naga.
Bagaimanapun, masyarakat Kampung Naga tetap tidak yakin akan versi sejarah ini, mengacu pada “pareumeun obor” sebagai tanda ketidakjelasan asal-usul mereka.
Kampung dengan Adat Istiadat Sunda
Kampung Naga terletak di lembah subur dan dikelilingi oleh berbagai elemen alam.
Di sebelah barat, terdapat hutan keramat dengan makam leluhur masyarakat Kampung Naga.
Di selatan, sawah-sawah penduduk, sementara di utara dan timur, sungai Ci Wulan mengalir dari Gunung Cikuray di daerah Garut.
Meskipun terpencil, Kampung Naga dapat diakses dari kota Tasikmalaya (sekitar 30 km) dan kota Garut (sekitar 26 km).
Kampung Naga adalah rumah bagi masyarakat yang taat beragama Islam.
Mereka menjalankan ibadah keagamaan seperti mengaji pada malam Senin dan Kamis, serta pengajian untuk orang dewasa pada malam Jumat.
Salah satu praktik unik mereka adalah penggantian ibadah haji dengan upacara Hajat Sasih pada tanggal 10 Dzulhijjah, yang dianggap setara dengan Hari Raya Haji.
Kampung Naga mempertahankan kepercayaan pada mahluk halus, seperti jurig cai (mahluk air), ririwa (mahluk yang mengganggu di malam hari), dan kunti anak (mahluk perempuan hamil yang meninggal).
Tempat-tempat yang dihuni mahluk halus ini dianggap angker oleh masyarakat Kampung Naga.
Pantangan atau pamali memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Naga.
Ini mencakup aturan terkait dengan pembangunan rumah, orientasi rumah, perabotan dalam rumah, dan lebih banyak lagi. Kesenian tradisional seperti terbangan, angklung, beluk, dan rengkong dihormati dan dilestarikan, sementara kesenian luar seperti wayang golek dan dangdut dianggap tabu.
Selain itu, hari-hari tertentu, terutama yang dianggap sebagai larangan bulan, dianggap tidak cocok untuk mengadakan pernikahan atau upacara penting lainnya.
Masyarakat Kampung Naga mengikuti perhitungan khusus untuk menentukan hari baik untuk berbagai kegiatan, dan mereka percaya bahwa beberapa bulan dan waktu tertentu memiliki pengaruh negatif.
Akses ke Kampung Naga bisa dilakukan dengan kendaraan pribadi melalui berbagai rute dari Jakarta atau Bandung. Alternatifnya, kendaraan umum seperti bus juga tersedia untuk mencapai lokasi ini.