Romansa Bandung

Kisah Tragis Putri Dyah Pitaloka: Perang Bubat dan Kehancuran Hubungan Sunda-Majapahit

Farano Gunawan (Unsplash)

“Bandung sebagai sebuah destinasi wisata telah begitu banyak menarik minat para pelancong Eropa di Masa Kolonial.”

RomansaBandung.com – Kemasyhuran Bandung tidak dapat disangkal karena tata kota dan alamnya selama masa kolonial, dan orang Belanda yang tinggal di Bandung menyebutnya sebagai Parijs vaan Java untuk menunjukkan bagaimana kota ini tertata rapi, indah, dan segar. 

Kedua kelebihannya itu membuat posisinya sebagai salah satu kota terkemuka untuk dikunjungi pada masa penjajahan. Hanya dalam waktu beberapa tahun dengan bantuan Bandoeng Voorouit, kota ini dikunjungi banyak orang dan dimodernisasi.

Tujuan utamanya terletak di dua sumber alam yang mengelilingi kota, pegunungan dan perbukitan. Keduanya adalah favorit di antara para pengunjung. Sebagian besar dari mereka menghabiskan waktu untuk mengunjungi banyak tempat yang disediakan oleh tanah berkah ini. Pada gilirannya, Bandung merupakan salah satu destinasi wisata alam unggulan.

Artikel ini secara singkat akan menyoroti pegunungan dan perbukitan di Bandung sebagai situs utama wisata alam di Bandung selama hampir dua puluh abad.

Putri Sunda yang dilamar Raja Majapahit

Dyah Pitaloka adalah putri dari Prabu Maharaja Linggabuana dan Dewi Lara Linsing.

Menurut kitab Pararaton, ia dijodohkan dengan Hayam Wuruk, raja Majapahit, yang sangat berhasrat untuk menjadikannya sebagai permaisuri.

Pada saat itu, Jawa dianggap memiliki budaya dan lembaga pendidikan agama yang lebih maju, sehingga banyak masyarakat Sunda belajar ke Jawa dan mengadopsi beberapa aspek budayanya.

Dengan alasan politik dan kebudayaan, Raja Sunda dengan suka cita memberikan restunya untuk pernikahan ini, melihatnya sebagai peluang untuk mengikat persekutuan dengan Majapahit yang besar dan jaya.

Pada tahun 1357, rombongan kerajaan Sunda berangkat menuju Majapahit, melayari Laut Jawa dan mendirikan pesanggrahan di Lapangan Bubat di bagian utara Trowulan, ibu kota Majapahit.

Mereka menantikan jemputan dari pihak Majapahit serta upacara kerajaan yang pantas untuk pernikahan agung tersebut.

Namun, kedatangan mereka memicu dilema besar di Majapahit.

Memilih Bunuh Diri Demi Harga Diri Negeri Sunda

Ada beberapa versi penyebab konflik ini. Menurut naskah Pustaka Rajyarajya dari Cirebon, Gajah Mada menyampaikan kepada rombongan Sunda bahwa pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka tidak dapat dilaksanakan karena kekerabatan dekat.

Di sisi lain, Agus Aris Munandar menafsirkan bahwa ayah Hayam Wuruk, Krtawarddhana, berkeberatan dengan pernikahan tersebut karena Hayam Wuruk telah dijodohkan dengan Indudewi dari Kediri.

Selain itu, ada sumber yang menyatakan bahwa Gajah Mada memandang peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menaklukkan Sunda di bawah kekuasaan Majapahit.

Ia bersikeras bahwa Sang Putri dipersembahkan untuk Raja Majapahit sebagai tanda takluk Kerajaan Sunda.

Merasa dipermalukan, rombongan Sunda memilih untuk melawan Majapahit demi menjaga kehormatan.

Ketegangan ini memuncak dalam pertempuran di Lapangan Bubat.

Rombongan kerajaan Sunda, meskipun memberikan perlawanan dengan gagah berani, akhirnya kewalahan dan hampir seluruhnya tewas dalam tragedi ini.

Dalam kesedihan dan hati yang remuk redam, Dyah Pitaloka memilih untuk bunuh diri demi membela kehormatan dan harga diri negaranya.