Romansa Bandung

Ludruk Chapter IV Cermin (Cerita Nyerimin)

Wisata Bandung

“Bandung sebagai sebuah destinasi wisata telah begitu banyak menarik minat para pelancong Eropa di Masa Kolonial.”

RomansaBandung.com – Nurman teman sekolah ku memang terbilang agak unik.

Kalau pagi sampai sore semua temannya di kampung harus memanggilnya dengan nama Nurman tegasnya.

Sedang kalau malam hari ia harus di panggil dengan sebutan Nurma dan melenyapkan huruf N di belakangnya.

Kami semua sepakat mengiyakan nya.

Ia berprofesi sebagai pemain ludruk di kampung.

Sangat piawai dalam berakting jadi banci bahkan nyaris mirip perempuan kata teman-teman ludruk nya.

Kepada kami semua ia menitipkan kami kepada panitia pelaksana untuk memastikan duduk di tempat terdepan karena baginya kami adalah penyemangat sekaligus pemicu “keributan” dalam ruangan yang tak terlalu besar di aula desa.

Kami semua berangkat lebih awal karena tak ingin terlambat menyemangati teman kecil kami.

Antusiasme masyarakat desa tentang kesenian di desa kami sungguhlah terasa sangat kental.

Sementara pertunjukan ludruk di mulai jam sepuluh malam.

Kami berenam sepakat untuk ngopi dan merokok dulu di saung tengah sawah tempat kami biasa diskusi pelajaran sekolah.

Namun, dari kejauhan tampak seperti ada seseorang yang tengah duduk di sana.

Kami pun menghampirinya dan ternyata itu adalah Nurman.

Eh, Nurma maksudnya. Dogel teman kami pun menyapa “mengapa kau tak bersiap-siap Nurma cantik?” Candanya.

Nurma hanya diam tak menjawab.

Ia bersembunyi di balik rambut panjangnya.

Dogel pun menawarinya rokok lalu menyalakan korek gas untuknya.

Tetapi, ia seperti tak ada gairah dengan kepulan-kepulan yang keluar dari mulut dan hidungnya.

Kami semua kenal betul sosok Nurma.

Saat sedang begitu berarti ia tak ingin di tanya ataupun menjawab sesuatu dari kami.

Kami pun mengacuhkannya dan lebih menikmati kopi hitam dan rokok di tangan.

Di bandingkan harus membuatnya buka mulut atau mengajaknya bercanda.

Karena toh akhirnya nanti juga ia sendiri yang akan bercerita tentang apa yang di alaminya.

Sudah hampir jam sembilan kami pun pergi meninggalkannya dan membiarkannya sendiri di tengah sawah.

Kliwon mengingatkan padanya bahwa kamu harus segera bergegas ke aula desa karena mungkin teman-teman ludruk mu saat ini tengah gelisah mencari mu.

Lalu kataku “biarkan saja ia sendiri, toh nanti juga ia yang rugi panggungnya kita kudeta” candaku.

Jarak antara saung dan aula desa memang tidak terlalu jauh.

Hanya sepuluh menit saja dengan berjalan kaki sudah sampai ke sana.

Kami semua mendengar keributan di antara para penonton sesampainya di sana.

Lalu panitia pelaksana menghampiri kami semua bahwa Nurma telah mati kesetrum karena tak sengaja menginjak kabel listrik di pojok panggung saat berakting.

Awalnya penonton hanya mengira Nurma pura-pura pingsan.

Namun, saat tiba dialog gilirannya ia begitu lama terbaring disana.

Kami semua seketika hanya saling menatap dan tak jadi membuat “keributan” seperti biasanya.

 

Cimahi, Rabu 27 Juli 2022

(Antologi CERMIN)