Romansa Bandung

Mengapa Ada Empat Keraton di Cirebon?

(G-Maps: Dowan Bach)

“Sebagaimana Mataram Cirebon juga mengalami perpecahan”

RomansaBandung.com – Sejarah Cirebon bermula dari sebuah perkampungan kecil di pesisir utara Jawa Barat, tepatnya di Kampung Kebon Pesisir.

Pada tahun 1445, wilayah ini dipimpin oleh Ki Danusela, seorang tokoh yang dianggap sebagai pemimpin awal masyarakat Cirebon.

Saat itu, Cirebon masih berupa sebuah desa sederhana yang hidup dari hasil laut dan perdagangan.

Perlahan tapi pasti, perkembangan terjadi di sekitar kampung tersebut. Dari sini, muncul sebuah perkampungan baru yang diberi nama Caruban Larang, dengan pemimpinnya bernama H.

Abdullah Iman, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuwana.

Di bawah kepemimpinannya, Caruban Larang berkembang menjadi lebih dari sekadar desa kecil, dengan semakin banyak pendatang dan interaksi perdagangan.

Perkembangan ini terus berlanjut, dan pada tahun 1479, Caruban Larang telah berubah menjadi sebuah nagari, atau wilayah yang lebih besar, yang dikenal dengan nama Nagari Cerbon.

Pangeran Cakrabuwana menyerahkan kepemimpinan kepada Tumenggung Syarif Hidayatullah, yang dikenal dengan gelar Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati.

Di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, Cirebon bukan hanya berkembang sebagai pusat perdagangan, tetapi juga menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat.

Sunan Gunung Jati wafat pada tahun 1568, meninggalkan warisan keagamaan dan politik yang kuat bagi keturunannya.

Kepemimpinan di Cirebon kemudian diteruskan oleh Pangeran Emas yang diberi gelar Panembahan Ratu.

Di masa Panembahan Ratu, Cirebon terus mengalami masa kejayaan sebagai pusat kekuasaan dan spiritualitas.

Ketika Panembahan Ratu wafat pada tahun 1649, posisinya digantikan oleh Pangeran Karim yang bergelar Panembahan Girilaya.

Panembahan Girilaya memimpin hingga tahun 1666, saat ia meninggal dunia, dan kepemimpinan sementara Cirebon dipegang oleh Pangeran Wangsakerta, yang dikenal dengan gelar Panembahan Toh Pati.

Terbaginya Cirebon

Namun, perubahan besar dalam sejarah politik Cirebon terjadi pada tahun 1677. 

Pada tahun itu, Cirebon terpecah menjadi beberapa kekuasaan yang berbeda. Pangeran Martawijaya dinobatkan sebagai Sultan Sepuh dengan gelar Sultan Raja Syamsuddin, sementara saudaranya, Pangeran Kertawijaya, diberi gelar Sultan Anom dengan nama Sultan Muhammad Badriddin. 

Sultan Sepuh menempati Keraton Pakungwati, sedangkan Sultan Anom mendirikan kraton baru di lokasi bekas rumah Pangeran Cakrabuwana. 

Di samping kedua sultan ini, ada juga Sultan Cerbon, yang berperan sebagai wakil Sultan Sepuh. 

Pemecahan kekuasaan ini menandai awal dari munculnya tiga kesultanan di Cirebon, yang bertahan hingga hari ini.

Tiga keraton utama yang menandai pembagian kekuasaan ini adalah Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. 

Masing-masing keraton memiliki sejarah dan identitas yang khas, namun semua bersumber dari akar sejarah yang sama: kebesaran Cirebon sebagai pusat kekuasaan dan spiritualitas Islam di Jawa Barat. 

Selain ketiga keraton ini, ada satu keraton lain yang lebih jarang disebutkan, yaitu Keraton Gebang, yang berdiri di luar tiga kesultanan utama tersebut.

Jejak sejarah Cirebon yang begitu kaya tidak hanya dapat ditemukan di keraton-keraton tersebut. 

Kawasan Cirebon dan pesisir utara Jawa Barat menyimpan berbagai tinggalan bersejarah yang mengingatkan kita pada masa kejayaan Cirebon dan peran pentingnya dalam Islamisasi Jawa Barat. 

Beberapa di antaranya yang sudah dikenal luas meliputi Taman Sari Gua Sunyaragi, yang merupakan situs meditasi bagi para raja Cirebon, serta kompleks makam Gunung Sembung dan Gunung Jati, tempat peristirahatan Sunan Gunung Jati yang dihormati hingga kini.

Keraton Kanoman (G-Maps: Agus Ryansyah))
Keraton Kacirebonan. (G-Maps: Isma Afifah Romani)
Keraton Gebang. (gunungdjati.blogspot.com)
Keraton Kasepuhan. (G-Maps: Saphira Harahap)