Romansa Bandung

Menjejak Warisan Agung: Eksplorasi Wisata Sejarah Keraton Kasepuhan

Keraton Kasepuhan Cirebon

“Keraton Kasepuhan Cirebon jadi salah satu destinasi wisata Kerajaan Islam yang tersisa di Jawa Barat.”

RomansaBandung.com – Di tengah riuhnya deburan ombak pantai utara Jawa Barat, Cirebon merentang sebagai kota yang menapaki kisahhnya sebagai pusat penyebaran Islam terawal di Jawa Barat.

 Pusat kota Cirebon menjadi saksi bisu era gemilang yang melibatkan sentuhan agung dan hikmah. Di belahan selatan alun-alun, mengemuka keagungan Keraton Kasepuhan, sebuah kompleks istana yang memancarkan masa kegemilangan masa lalu.

Keraton itu sendiri berada di wilayah Kampung Mandalangan, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemah Wungkuk, dengan koordinat yang mengarah ke 06° 43′ 559″ Lintang Selatan dan 108° 34′ 244″ Bujur Timur, Keraton ini meliputi areal sekitar ± 185.500 m2, didefinisikan oleh batas yang dijaga oleh Jl. Kasepuhan di utara, Jl. Mayor Sastraatmaja di timur, Kali Kriyan di selatan, dan pemukiman penduduk di sebelah barat.

Gunung Tangkuban Perahu

Jejak waktu menyapa dari tahun 1529 ketika Pangeran Cakrabuana meramu bangunan ini, sebagai dari Keraton tertua Cirebon, Pakungwati.

Pangeran Cakrabuana lalu mewarisi kerajaannya pada keponakannya Sunan Gunung Jati. 

Tak hanya sebagai seorang raja Sunan Gunung Djati juga dikenal sebagai seorang Waliyullah penyebar agama Islam di Pulau Jawa.

Saat usiannya melangkah menuju senja, sang cicit, Pangeran Emas Zaenal Arifin, naik tahta dan mendandani diri dengan gelar Panembahan Pakungwati I

Pada 1669, Kesultanan Cirebon dibelah menjadi dua, Kesultanan Kanoman dan Kasepuhan. Keraton menjadi istana bagi dua saudara, Pangeran Kartawijaya yang menguasai Kesultanan Kanoman dengan gelar Sultan Anom I, dan Pangeran Martawijaya yang membawa Kesultanan Kasepuhan sebagai Sultan Sepuh I.

Siti Inggil Keraton Kasepuhan Cirebon Tahun 1920-an
Bangunan Mande Pengiring
Langgar Agung

Perpaduan Arsitektur Islam Jawa

Kota ini terhampar dalam sejarah dengan keindahan arsitektur yang menjelma. 

Mengintip ke pintu gerbang utama Keraton Kasepuhan yang mengarah ke utara, Kreteg Pangrawit mengurai kisah lewat jembatannya, sementara pintu gerbang selatan menyapu dengan panggilan lawang sanga (pintu sembilan). 

Hiduplah dalam cerita ketika melewati Kreteg Pangrawit membawa pengunjung ke pelukan halaman depan keraton. 

Di sinilah tempat di mana dua bangunan, Pancaratna dan Pancaniti, mengangkangi perjalanan dengan pesona mereka. 

Pancaratna, berdiri tegak di sebelah kiri, menjulang dalam ukuran 8 x 8 m. 

Lantai tegel mendukung bobotnya, atapnya digelantung oleh empat sokoguru di atas lantai tinggi dan ditinggalkan oleh 12 tiang pendukung di lantai bawah.

 Genteng melindungi kebesarannya, menarik mata ke puncak atap di mana mamolo bersandar. 

Fungsinya? Tempat sang pembesar desa atau kampong bertatap muka dengan Demang atau Wedana. 

Pagar teralis besi mendefinisikan keindahannya. 

Di sisi lain, Bangunan Pangrawit, sebelah kiri kompleks, menghadirkan dirinya dengan ukuran 8 x 8 m. 

Tanpa dinding, 16 tiang menopang atapnya yang menjulang, beratapkan sirap. 

Lantas terjadi interaksi: suasana terbuka menyambut pengunjung.

Halaman pertama menampakan panggung lengkap dengan kompleks Siti Inggil, berbaur dalam aroma bangunan bernama Mande Pendawa Lima, Mande Malang Semirang, Mande Semar Timandu, Mande Karesmen, dan Mande Pengiring. 

Mereka bersama-sama menerangi kesempurnaan perjalanan. 

Tapi satu lagi bangunan, bangunan Pengada, mencuat dalam kecerahan. Berukuran 17 x 9,5 m, membagi berkat dan memeriksa tamu dengan takzim sebelum tampil menghadap sang raja.

Langit terbentang antara halaman pertama dan kedua, tembok memandu gerakan. 

Gerbang memandu perjalanan melalui Regol Pengada, bangunan yang mengantarkan ke halaman ketiga, memasuki pengembaraan lebih dalam di dalam Keraton Kasepuhan. 

Di sini, dunia memberi tempat untuk penghormatan pada kerajaan yang mulia.

Jinjit Langgar Agung membelalak, menarik mata dengan kekokohannya.

 Tampil tanpa dinding, langit-langit beratapkan sirap yang ditopang oleh empat tiang sokoguru, 12 tiang tengah, dan 12 tiang luar. Di sinilah, perangkat perwira melatih para prajurit, menggelar keberanian dan kebijaksanaan di atas lantai tegel. 

Nama, Sebuah kisah penuh makna: Dewandaru, bunderan yang menyoroti cahaya di tengah gelap. 

Disebut demikian karena taman ini memberi cahaya di antara mereka yang tenggelam dalam kegelapan. 

Di tengah taman ini, sisa-sisa keindahan bertemu dalam harmoni yang ajaib, Nandi, pohon soko, dan patung macan putih menjulang, sementara Ki Santomo dan Nyi Santoni melodi dalam ketenangan.

Museum Benda Kuno membentang dengan kekaguman, menggenggam kekayaan masa lalu. Museum 

Kereta pun tak kalah dalam keindahan, menggambarkan perjalanan megah dari zaman dahulu. Tunggu Manunggal meringkuk dalam senyuman, menjadi penunggu yang bijak, berbicara tentang persatuan dan makna dalam hidup.