Novel Atheis: Karya Besar Sastrawan Sunda Yang Diakui UNESCO
RomansaBandung.com – “Atheis” karya Achdiat Karta Mihardja, yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1949, adalah salah satu karya sastra penting dalam sejarah literatur Indonesia.
Novel ini mengangkat isu-isu mendalam tentang keimanan, ideologi, dan konflik antara tradisionalisme dan modernitas.
Dengan gaya penulisan yang inovatif dan tema yang kontroversial, “Atheis” berhasil memancing diskusi panas pada masanya, sekaligus mencerminkan pergolakan batin dalam masyarakat Indonesia pasca-kemerdekaan.
Alur dan Gaya Penulisan
Alur cerita “Atheis” disusun secara tidak linier dan menggunakan tiga gaya naratif yang unik, sebuah teknik yang pada masa itu jarang ditemukan dalam literatur Indonesia.
Novel ini dibuka dengan narasi dari sudut pandang orang ketiga, lalu beralih ke narasi orang pertama melalui pandangan jurnalis anonim, dan akhirnya kembali ke narasi orang ketiga yang mengisahkan kematian tragis tokoh utama, Hasan.
Pola naratif yang berpindah-pindah ini menambah dimensi psikologis dan memungkinkan pembaca memahami berbagai perspektif yang membentuk konflik batin tokoh utamanya.
Cerita “Atheis” mengisahkan perjalanan hidup Hasan, seorang pemuda yang dibesarkan dalam lingkungan Muslim yang taat, namun kemudian terguncang oleh pertemuan dengan teman lamanya, Rusli, seorang penganut Marxisme-Leninisme, dan Kartini, perempuan modern yang juga berhaluan Marxis.
Keimanan Hasan mulai goyah saat berhadapan dengan argumentasi Rusli yang menolak agama.
Puncak dari krisis spiritual ini terjadi ketika Hasan lebih memilih aktivitas sekuler, seperti menonton film di bioskop, daripada menunaikan ibadah.
Mihardja mengeksekusi penokohan Hasan dengan sangat baik, terutama dalam menggambarkan ketidakmampuannya untuk menyesuaikan diri dengan dunia yang semakin modern dan sekuler.
Kehidupan spiritual Hasan yang sebelumnya stabil mulai tercerai berai, memperlihatkan bahwa pengasuhan keagamaan yang ketat saja tidak cukup untuk membekalinya menghadapi tantangan intelektual dan spiritual di dunia modern.
BACA INI JUGA!
Para Tokoh
Selain Hasan, karakter-karakter lain dalam “Atheis” juga memperkaya narasi dengan konflik ideologi yang mendalam.
Rusli adalah tokoh penting yang mewakili penganut Marxisme-Leninisme, sosok yang selalu mematahkan argumentasi keagamaan Hasan dan mengajaknya berpikir lebih kritis tentang dunia.
Sementara itu, Anwar, yang diduga terinspirasi dari sosok penyair Chairil Anwar, adalah tokoh anarkis dan nihilistik yang mendekonstruksi segala norma sosial dan agama dengan keangkuhannya.
Tokoh Kartini, perempuan yang menjadi pusat perhatian Hasan, juga menarik perhatian dengan perannya sebagai simbol modernitas.
Ia adalah perempuan yang cerdas dan progresif, namun tetap terperangkap dalam kisah cinta yang tragis dengan Hasan. Kecurigaan Hasan terhadap Kartini yang dianggap berselingkuh dengan Anwar menjadi puncak dari kemunduran spiritual Hasan, yang pada akhirnya memutuskan untuk menceraikan Kartini.
Tema dan Simbolisme
“Atheis” secara terang-terangan membahas tema besar tentang keimanan dan ketidakpercayaan.
Pertanyaan mendasar yang diajukan novel ini adalah tentang ada-tidaknya Tuhan, sesuatu yang jarang diangkat dalam karya sastra Indonesia pada saat itu.
Pergolakan batin Hasan, yang menjadi semakin rapuh di tengah modernitas dan godaan duniawi, mencerminkan dilema spiritual yang dialami banyak orang di era pasca-kolonial.
Meski Achdiat sendiri menolak interpretasi simbolis, novel ini sering dipandang sebagai alegori bagi konflik yang lebih besar antara tradisi dan modernitas di Indonesia. Kehancuran hidup
Hasan, yang dipengaruhi oleh penganut ideologi modern seperti Rusli dan Anwar, seakan melambangkan kekalahan tradisi di hadapan dunia yang sedang berubah cepat.
Kehadiran penjajah Jepang yang menembak Hasan juga bisa diinterpretasikan sebagai lambang dari kekuatan asing yang mengganggu tatanan sosial tradisional.
Pengaruh dan Kontroversi
Ketika “Atheis” pertama kali diterbitkan, novel ini memicu kontroversi di berbagai kalangan.
Para pemuka agama menolak novel ini karena merasa keimanan Hasan tidak cukup kuat dalam menghadapi godaan, sementara kelompok Marxis dan anarkis juga mengkritik penggambaran tokoh Rusli dan Anwar yang mereka anggap tidak sepenuhnya mencerminkan ideologi yang mereka anut.
Namun, di sisi lain, para kritikus sastra justru memuji “Atheis” karena keberaniannya mengangkat isu-isu yang relevan dengan kehidupan masyarakat modern Indonesia.
Keberhasilan Achdiat tidak hanya terlihat dari respon positif dari kalangan sastra, tetapi juga melalui penghargaan yang diterimanya, seperti penghargaan dari pemerintah Indonesia pada tahun 1969, serta masuknya novel ini ke dalam koleksi UNESCO sebagai karya perwakilan dunia.