Prabu Kian Santang: Penyebar Agama Islam di Jawa Barat
RomansaBandung.com – Prabu Kian Santang, juga dikenal sebagai Raden Sanggara (sering dieja Radja Sangara) atau Syeh Sunan Rohmat Suci, adalah putra dari Prabu Siliwangi atau Sri Paduka Maharaja Raja Pakuan Padjajaran dengan Nyi Subang Larang.
Pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subang Larang diselenggarakan oleh Syekh Quro’ Karawang.
Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai tiga orang anak: Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Rara Santang (ibu Sunan Gunung Jati), dan Prabu Kian Santang.
Beliau dilahirkan pada tahun 1427 M dengan nama Radja Sangara.
Anak dari Seorang Raja Sunda
Disebutkan dalam Ensiklopedi Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia yang disusun oleh Kementerian Agama NKRI bahwa Prabu Kian Santang berdakwah untuk mengajak raja-raja Sunda pedalaman memeluk agama Islam, antara lain Sunan Pancer dan Raja Galuh Pakuan.
Dalam “Nusa Jawa Silang Budaya” jilid 2 karya Dennys Lombard disebutkan bahwa Kian Santang pernah menuntut ilmu di Makkah.
Beliau menikah dengan Nyai Kalimah Sapujagad, seperti yang disebutkan dalam “Purwaka Caruban Nagari” karya Pangeran Arya Cirebon.
Namun, tidak ada catatan resmi mengenai keturunannya, yang menimbulkan perdebatan.
Prabu Kiansantang, juga dikenal sebagai Kian Santang, merupakan tokoh dalam tradisi masyarakat yang diyakini sebagai putra Raja Padjadjaran (Prabu Siliwangi).
Meskipun ada perbedaan keyakinan agama, mereka sepakat memberikan keleluasaan kepada Kian Santang untuk menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah Kerajaan Padjadjaran.
Tempat-tempat bersejarah terkait dengan Kian Santang terdapat di Godog Garut, berupa makam; Gunung Nagara, bekas pertahanan; dan di Cilauteureun.
Menurut cerita rakyat yang turun-temurun, Prabu Kiansantang/Kian Santang pada abad ke-15 bertemu dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan mengejar ayahnya, Prabu Siliwangi, untuk memeluk agama Islam.
Hal ini terkait dengan cerita tentang Rakeyan Sancang, putra Raja Kertawarman dari Kerajaan Tarumanagara.
Dalam wangsit “Uga Siliwangi”, dikatakan bahwa keturunannya akan menjadi pengingat bagi saudara-saudaranya dan orang lain.
Mereka diingatkan untuk memelihara hubungan baik dengan saudara-saudaranya dan orang lain yang memiliki hati yang baik.
Salah satu tanda kehadiran keturunannya adalah suara minta tolong yang terdengar dari Gunung Halimun tengah malam, yang menandakan bahwa keturunan mereka dipanggil untuk menikah di Lebak Cawéné.
Namun, peringatan diberikan agar tidak berlebihan, karena akan ada bahaya banjir di telaga.