Prof. Dr. Pangeran Ario Hussein Jayadiningrat: Sarjana Sunda dan Indonesia Pertama
RomansaBandung.com – Prof. Dr. Pangeran Ario Hussein Jayadiningrat adalah seorang sejarawan, sastrawan, dan ilmuwan Sunda yang dikenal sebagai pelopor tradisi keilmuan di Indonesia.
Beliau merupakan salah satu sarjana pribumi pertama di Hindia Belanda dan pribumi pertama yang menerima gelar akademik tertinggi (doktor).
Pendidikan dan Karir Awal di Masa Kolonial
Sejak remaja, Hussein dikenal sebagai pemuda yang pintar dan berbakat, baik dalam ilmu agama maupun ilmu barat.
Bakatnya menarik perhatian Snouck Hurgronje, yang kemudian mengirimnya ke Universitas Kerajaan Leiden.
Di sana, Hussein meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, yang mendapatkan predikat “terpuji” (cum laude) dari promotornya, Snouck Hurgronje.
Disertasi ini membuka jalan bagi penelitian tentang historiografi Indonesia, sehingga Hussein dikenal sebagai “bapak metodologi penelitian sejarah Indonesia”.
Ia adalah pribumi Indonesia pertama yang menjadi guru besar dan dikenal sebagai ahli keislaman yang terkenal pada masa hidupnya.
Setelah menyelesaikan disertasinya pada 3 Mei 1913, Hussein menghabiskan satu tahun di Aceh untuk mempelajari bahasa Aceh dalam rangka mempersiapkan kamus bahasa Aceh.
Kamus tersebut, yang diselesaikan dengan bantuan beberapa tokoh, diterbitkan dengan judul Atjeh-Nederlandsch Woordenboek (1934).
Sekembalinya ke tanah air, Hussein bekerja pada Kantor Urusan Bumiputera hingga tahun 1918.
Ia menikah dengan B.R.A. Partini, puteri tertua Sri Mangkunegara VII, dan memiliki tiga puteri serta tiga putera.
Keahlian Hussein di bidang bahasa mendorongnya untuk menjadi pembina dan penanggungjawab surat kabar bulanan berbahasa Sunda, Sekar Roekoen, yang diterbitkan oleh Perkoempoelan Sekar Roekoen sejak 1919.
Selain itu, ia juga menerbitkan Pusaka Sunda, majalah berbahasa Sunda yang membahas kebudayaan Sunda.
Pada tahun yang sama, Hussein mendirikan Java Instituut dan sejak tahun 1921 menjadi redaktur majalah Djawa yang diterbitkan oleh lembaga tersebut bersama Raden Ngabehi Purbacaraka (Poerbatjaraka).
Pada tahun 1924, Hussein diangkat menjadi guru besar di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Batavia) dan memberikan kuliah tentang Hukum Islam, bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Jawa.
Antara tahun 1935 dan 1941, Hussein diangkat menjadi anggota Rad van Indië (Dewan Hindia) dan bertahun-tahun menjadi konservator naskah di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Perkumpulan Masyarakat Pencinta Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia), menjadi ketuanya sejak tahun 1936.
Masa Pendudukan Jepang dan era Kemerdekaan
Pada tahun 1940, Hussein menjabat sebagai Direktur Pengajaran Agama, dan pada zaman pendudukan Jepang menjadi Kepala Departemen Urusan Agama.
Pada tahun 1948, ia diangkat menjadi Menteri Pengajaran, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan pada masa pemerintahan Presiden Sukarno.
Tahun 1952, Hussein menjadi guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan pada tahun 1957 menjadi pemimpin umum Lembaga Bahasa dan Budaya (LBB), merangkap sebagai anggota Komisi Istilah di lembaga tersebut.
Hussein Djayadiningrat adalah kakek dari sutradara Indonesia, Dimas Djayadiningrat.
Karyanya dalam bidang keilmuan dan kebudayaan terus dikenang sebagai fondasi penting dalam sejarah penelitian dan pendidikan di Indonesia.
Dengan kontribusinya yang luas, Hussein Jayadiningrat layak disebut sebagai salah satu tokoh utama dalam sejarah intelektual Indonesia.