Sebelum Mengenal Huruf Latin, Bagaimana Orang Sunda Menuliskan Bahasa Mereka?
RomansaBandung.com – Sejak diperkenalkannya penggunaan huruf Latin oleh Belanda sejak abad ke-19, orang Sunda menjadi lebih sangat terbiasa mengungkapkan bahasa mereka melalui huruf-huruf itu. Bahkan huruf-huruf latin itu sudah menjadi salah satu identitas budaya mereka.
Memang di sekolah-sekolah aksara Sunda Baku tetap dipelajari. Namun demikian proporsi pembelajaran sekaligus penggunaannya sangatlah minim. Orang Sunda tetap saja lebih nyaman menuliskan bahasa mereka dalam huruf-huruf latin.
Sebagaimana telah disebut di atas pengunaan huruf latin ini baru dimulai sejak abad ke-19. Otomatis penggunaannya belum lah terlalu lama. Lantas sobat romansa mungkin bertanya huruf apa yang digunakan oleh orang Sunda sebelum mereka mengenal huruf-huruf latin itu.
Agar pikiran sobat romansa tidak semakin bertanya-tanya. Baiklah admin akan jelasin khusus buat kalian nih…. huruf-huruf yang digunakan oleh orang Sunda sebelum mengenal huruf latin.
Aksara Sunda Kuno (Abad 14 - 18)
Bukti tertua dari Aksara Sunda kuno bisa ditemui dari adanya prasasti Kawali di daerah Ciamis dan Prasasti Kabantenan di sekitaran Bekasi. Secara aksara huruf-hurufnya hampir menyerupai Aksara Sunda Baku atau Modern saat ini. Hal itu tidak mengherankan karena aksara ini adalah pendahulu dari Aksara Sunda Baku.
Aksara Sunda Kuno begitu populer hingga abad ke-18 dan menjadi aksara utama yang digunakan oleh orang Sunda untuk menuliskan bahasa mereka.
Pengunaan Aksara ini perlahan mulai ditinggalkan saat Kesultanan Mataram Islam menguasai hampir sebagian besar Jawa Barat di abad ke-17. Penguasa Mataram saat itu banyak memperkenalkan orang-orang Sunda dengan budaya Jawa termasuk dalam hal penulisan yakni Aksara Carakan.
Di abad ke-18 VOC mengambil alih penguasaan Jawa Barat dan menetapkan tiga aksara resmi di kawasan Jawa Barat yakni Aksara Latin, Pegon dan Carakan. Akibatnya orang-orang Sunda semakin lupa terhadap aksara Sunda kuno.
Read More: Benarkah Bahasa Jawa Mempengaruhi Bahasa Sundanya Orang Bandung?
Aksara Cacarakan atau Jawa (Abad ke 18 - Abad ke 20)
Nama lain dari aksara ini adalah Aksara Jawa sebab musababnya karena memang orang Jawa dari Mataram-lah yang memperkenalkan aksara ini dan juga aksara ini memang diadopsi dari Aksara Jawa.
Aksara ini masuk ke Jawa Barat dan khususnya wilayah Priangan di abad ke-17 saat Mataram Islam bereskpansi untuk meluaskan kekuasaannya. Para bangsawan Sunda yang bertindak sebagai bawahan penguasa Mataram mengadopsi huruf-huruf ini untuk menuliskan bahasa Sunda.
Saat daerah Priangan di bawah VOC pada abad ke-18 orang-orang yang sudah nyaman dengan aksara ini tetap mempertahankannya. Bahkan malahan di abad ke-19 Aksara ini justru lebih dikenal sebagai aksara Sunda.
Hingga tahun 1950-an aksara ini masih tetap lestari sebelum banyak orang Sunda mulai menyadari bahwa aksara Sunda Kuno adalah aksara asli mereka. Oleh karena itu setidaknya di paruh perempat abad terakhir abad ke-20 aksara ini perlahan mulai ditinggalkan dan orang-orang Sunda kembali mengadopsi aksara Sunda Kuno dengan modifikasi disana-sini menyesuaikan dengan penggunaan Bahasa Sunda modern. Aksara ini kelak dikenal sebagai Aksara Sunda Baku.
Aksara Pegon (Abad ke 17 - Sekarang)
Di abad ke-16 banyak orang-orang Sunda secara perlahan mulai berkonversi ke dalam agama Islam. akibatnya banyak pengaruh Arab yang di bawa agama Islam mulai meresap ke dalam budaya orang-orang Sunda. Salah satunya ialah pengunaan huruf-huruf Arab.
Tapi uniknya huruf-huruf Arab memiliki huruf-huruf tambahan untuk menyesuaikan dengan beberapa pelafalan yang ada di dalam bahasa Sunda namun tidak ditemui dalam bahasa Arab.
Pengunaan aksara pegon di dalam masyarakat Sunda sezaman dengan menjamurnya penggunaan aksara cacarakan. Namun demikian aksara pegon lebih populer di kalangan orang-orang Sunda yang bersekolah di Pesantren atau sekolah-sekolah agama.
Banyak kitab-kitab pengajaran agama Islam seperti kitab tentang tauhid, hadits, fiqih berbahasa Sunda ditulis menggunakan huruf pegon. Hingga saat ini huruf ini masih cukup populer di pesantren-pesantren tradisional terutama pesantren-pesantren yang bernaung di bawah Nadhlatul Ulama (NU).