Romansa Bandung

Sejarah Cianjur: Dari Desa Pemukiman hingga Kabupaten Merdeka

Alun-Alun dan Masjid Agung Cianjur. (Esra Sianipar).

“Sebelum Gunung Gede meletus hebat di abad-19 Cianjur adalah pusat Ibukota Priangan.”

RomansaBandung.com – Sejarah Kabupaten Cianjur tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Islam di wilayah tersebut.

Cianjur merupakan salah satu daerah dengan nilai sejarah yang sangat akurat di Provinsi Jawa Barat, terbukti dari banyaknya peninggalan leluhur berupa naskah maupun patilasan.

Tahun 1933 menjadi tahun yang monumental karena merupakan awal peringatan Cianjur sebagai kota kabupaten.

Hari jadi Kabupaten Cianjur memiliki arti penting bagi masyarakatnya sebagai tanda legalitas berdirinya wilayah pemerintahan serta tonggak perjuangan para pendiri pemerintahan hingga saat ini.

Berasal dari Pemukiman era Mataram Islam

Pendirian Kabupaten Cianjur bermula dari sejarah pada pertengahan abad ke-17 Masehi, di mana sejumlah rakyat dari wilayah Sagaraherang mencari tempat baru di sepanjang sungai untuk bertani dan bermukim.

Daerah baru tersebut diberi nama sesuai dengan nama sungai tempat mereka bermukim.

Mereka adalah orang-orang yang mengabdi kepada Raden Djajasasana Aria Wira Tanu, putra Aria Wangsa Goparana dari Sagaraherang yang berasal dari Talaga.

Aria Wangsa Goparana merupakan keturunan ketujuh dari Prabu Siliwangi dan merupakan bagian dari garis keturunan para Sunan Talaga.

Menurut cerita, Raden Aria Wangsa Goparana terpaksa meninggalkan Talaga karena memeluk agama Islam, sementara para Sunan Talaga pada waktu itu masih menganut agama Hindu.

Raden Aria Wangsa Goparana kemudian mendirikan negeri di Sagaraherang dan menyebarkan agama Islam di daerah tersebut bersama dengan para pengikutnya.

Daerah Cikundul menjadi wilayah yang dikuasai oleh Raden Djajasasana Aria Wira Tanu dan sekaligus menjadi ibu nagari, yaitu wilayah pemukiman rakyat Djajasasana.

Tempat ini kemudian disebut Cianjur. Pada tahun 1625, pemukiman rakyat Djajasasana dihitung oleh Puspawangsa (Ki Puspa dan Ki Wangsa) yang berjumlah sekitar 300 umpi atau kurang lebih 1.100 orang. Dari jumlah tersebut, 200 orang bekerja di bawah kekuasaan Mataram pimpinan Raden Djajasasana untuk menjaga perbatasan bagian barat.

Jalur Kereta Api di Kabupaten Cianjur
Raden Wiratanu I Bupati pertama Cianjur. (www.maharnews.com)

Menjadi Kabupaten Mandiri

Pada masa penjajahan VOC, daerah di bagian barat Sungai Citarum dapat dipergunakan sesukanya oleh VOC berdasarkan perjanjian lisan antara Mataram dan VOC pada tahun 1677.

Pada tahun yang sama, Mataram meminta bantuan VOC sehubungan dengan pemberontakan Trunajaya, dan sebagai imbalannya, pada tanggal 25 Februari 1677, diadakan kontrak yang menyatakan bahwa daerah di sebelah barat Sungai Citarum diserahkan kepada VOC. Selanjutnya, pada tanggal 19 dan 20 Oktober 1677, diadakan kontrak tambahan yang menyatakan bahwa daerah yang telah diserahkan ditambah lagi dengan daerah antara Sungai Citarum dan Cipunagara.

Karena pengaruh kekuasaan Mataram semakin menurun, pada akhir tahun 1677 kekuasaan Mataram atas daerah tersebut hilang, dan secara de facto, daerah pemukiman rakyat Raden Djayasasana Aria Wira Tanu merdeka.

Rakyat di bawah kepemimpinan Raden Djayasasana Aria Wira Tanu semakin bertambah sehingga cukup untuk membentuk suatu padeleman atau kabupaten.

Tidak mengherankan jika VOC pada tahun 1680 menyebut Raden Wira Tanu sebagai regent dan daerah yang disebut Cianjur sebagai regentchap-nya.

Dengan demikian, secara de facto pada tahun 1677, Cianjur merdeka sebagai daerah kabupaten yang dipimpin oleh seorang regent atau bupati, dan pada tahun 1684, pemerintahan Belanda mengakui legalitas Kabupaten Cianjur.