Sejarah Pemukiman Orang Tionghoa di Bandung
RomansaBandung.com – Bandung, kota yang dikenal dengan sebutan Paris van Java, memiliki sejarah panjang yang menarik untuk ditelusuri.
Salah satu babak dalam sejarah kota ini adalah perjalanan komunitas Tionghoa yang hidup dan menetap di Bandung.
Tidak seperti di banyak kota besar lain di Indonesia, seperti Batavia atau Semarang, di mana permukiman Tionghoa terpusat di satu area yang dikenal sebagai pecinan, komunitas Tionghoa di Bandung tersebar ke berbagai penjuru kota.
Bagaimana sejarah ini terbentuk? Mari kita telusuri jejaknya.
Kedatangan Pertama Orang Tionghoa
Pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1810, pusat pemerintahan Kabupaten Bandung dipindahkan dari Dayeuh Kolot ke wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Jalan Asia-Afrika.
Pemindahan ini dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bagian dari upaya memperkuat penguasaan mereka di wilayah tersebut.
Untuk mendukung pengembangan pusat ibu kota yang baru ini, berbagai proyek pembangunan infrastruktur dilakukan, termasuk pembangunan Masjid Agung, Pendopo, dan Pesanggrahan.
Gelombang pertama kedatangan masyarakat Tionghoa ke Bandung terjadi pada tahun 1825.
Pada saat itu, sekelompok masyarakat Tionghoa dari Cirebon, yang dipimpin oleh seorang mandor bernama Babah Tamlong, tiba di Bandung untuk bekerja sebagai kuli pada proyek-proyek kolonial.
Mereka berasal dari daerah Konghu di China, dan kedatangan mereka ke Bandung menandai awal mula terbentuknya komunitas Tionghoa di kota ini.
Seiring waktu, komunitas ini mulai menetap dan membangun kehidupan mereka di Bandung.
Salah satu lokasi awal tempat mereka bermukim adalah di timur Pesanggrahan, yang kini menjadi lokasi Hotel Preanger.
Nama Babah Tamlong sendiri kemudian diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Bandung, yaitu Jalan Tamblong, yang lokasinya tidak jauh dari Hotel Preanger.

Tiada Pecinan di Bandung
Berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia, permukiman Tionghoa di Bandung tidak terpusat di satu area.
Sebaliknya, mereka menyebar ke berbagai lokasi di kota ini. Beberapa di antaranya menetap di wilayah barat pusat kota, seperti di Jalan Pecinan Lama (sekarang dikenal sebagai Jalan Banceuy), Jalan Cibadak, Jalan Kelenteng, dan sekitar Kecamatan Andir.
Penyebaran ini menciptakan sebuah keunikan tersendiri, karena tidak ada satu area pun di Bandung yang bisa disebut sebagai pecinan secara kasat mata.
Meski begitu, hingga saat ini, kita masih bisa melihat jejak-jejak kehadiran komunitas Tionghoa di beberapa daerah ini, terutama di Jalan Cibadak.
Di sana, sebuah gapura dengan desain khas oriental masih berdiri kokoh, menyambut siapa pun yang melintasi jalan tersebut. Arsitektur ruko-ruko di kawasan ini pun masih mencerminkan gaya khas Tionghoa.
Mengapa Tiada Pemukiman Khusus Orang Tionghoa di Bandung
Mengapa permukiman Tionghoa di Bandung tidak terpusat seperti di kota-kota lain? Ada beberapa dugaan yang bisa menjelaskan hal ini.
Salah satunya adalah bahwa ketika komunitas Tionghoa mulai menetap di Bandung, kota ini masih tergolong muda, belum seberapa berkembang seperti Batavia atau Semarang.
Akibatnya, aturan kolonial yang biasanya memusatkan komunitas Tionghoa di satu area tidak diterapkan dengan ketat di Bandung.
Selain itu, peraturan ini juga dengan cepat tergantikan oleh kebijakan baru yang memungkinkan masyarakat Tionghoa untuk menetap di luar kawasan yang ditetapkan sebagai pecinan.
Pemukiman Orang Tionghoa Pasca Bandung Lautan Api
Peristiwa besar lain yang memengaruhi peta permukiman Tionghoa di Bandung adalah Bandung Lautan Api pada tahun 1946.
Pada saat itu, pasukan sekutu memberikan ultimatum kepada rakyat Bandung untuk mengosongkan wilayah Bandung Utara.
Rakyat pun terpaksa mengungsi ke Bandung Selatan, sementara Bandung Utara dikuasai oleh sekutu.
Namun, tidak semua masyarakat Tionghoa mengikuti eksodus ini.
Beberapa di antaranya memilih tetap tinggal di Bandung Utara dan menempati bangunan yang ditinggalkan oleh penduduk yang mengungsi.
Ketika situasi di Indonesia mulai stabil dan warga yang mengungsi kembali ke Bandung Utara, sengketa kepemilikan bangunan dan lahan pun tak terhindarkan.
Beberapa masyarakat Tionghoa yang tidak mengungsi mengklaim bangunan yang mereka tempati sebagai milik mereka, sementara warga yang sebelumnya meninggalkan Bandung merasa mereka masih memiliki hak atas properti tersebut.