Si Pitung: Pahlawan Legendaris dari Betawi yang Misterius
RomansaBandung.com – Dalam senja yang menguap di atas Batavia yang penuh debu, seorang pria bernama Salihoen berjalan tanpa suara di lorong-lorong sempit kampung Pengumben.
Di sanalah, di antara rumah-rumah reyot dan suara keramaian pasar, lahir legenda yang menantang waktu—legenda Si Pitung.
Si Pitung, begitu orang-orang mengenalnya, adalah pria yang dilahirkan untuk bertarung melawan ketidakadilan.
Sejak kecil, hidupnya tak lepas dari kerasnya realitas Batavia di bawah kekuasaan kolonial Belanda.
Ayahnya, Bang Piung, hanya seorang petani yang menanam harapan di tanah tandus; sementara ibunya, Mbak Pinah, adalah sosok yang membesarkan Si Pitung dengan nilai-nilai kesalehan.
Pitung bukanlah sekadar bocah kampung biasa.
Di pesantren Hadji Naipin, ia bukan hanya belajar mengaji, tetapi juga mengasah kemampuannya dalam pencak silat, keterampilan yang kelak akan menjadikannya pahlawan bagi rakyat kecil.
Tapi hidup Si Pitung tidak berjalan lurus, seperti sungai yang meliuk dan bercabang.
Dalam satu peristiwa di pasar Tanah Abang, kambing yang dijualnya dicuri oleh centeng tanah, Rais, Jiih, dan Jampang.
Si Pitung hanya tersenyum dan mengabarkan kepada ayahnya bahwa dia telah dirampok.
Namun ayahnya, marah, menyuruh Si Pitung untuk mendapatkan kembali uang tersebut.
Begitulah, sebuah langkah kecil menuju dunia hitam yang kelak membuat namanya masyhur di seantero Batavia.
Robin Hood dari Betawi
Masyarakat Betawi mengenal Pitung bukan sebagai perampok sembarangan.
Di bawah kedok perampokan, ia menebarkan keadilan bagi kaum tertindas.
Ia menjadi Robin Hood-nya Jakarta, menggerogoti kekayaan tuan-tuan tanah dan orang kaya yang bersekutu dengan Belanda, hanya untuk membagikan hasilnya kepada mereka yang kelaparan dan membutuhkan.
Tapi ini bukan kisah yang mudah. Belanda tentu saja tak tinggal diam. Schout van Hinne, seorang perwira polisi Belanda, menjadikannya target nomor satu.
Perburuan terhadap Si Pitung menjadi permainan kucing-kucingan yang mencekam.
Van Hinne tahu, Pitung bukan sembarang manusia. Ia sakti, kebal terhadap senjata api dan bisa menghilang di antara bayang-bayang malam.
Di balik kekuatan mistisnya, tersimpan rahasia yang dijaga rapat—sebuah jimat yang memberikan kekuatan luar biasa.
Di satu sisi, Si Pitung terus mengacak-acak kekuasaan kolonial. Bersama kawan-kawannya, ia tak pernah lelah melawan ketidakadilan.
Dalam sekali aksinya, ia bahkan menyamar sebagai pegawai pemerintah Belanda, mengelabui seorang Haji kaya untuk menyimpan uang di tempat yang aman, hanya untuk kemudian merampoknya tanpa rasa bersalah.
Pada saat yang sama, suara rakyat kecil semakin menggema, memuja Pitung sebagai pahlawan yang membawa harapan dalam kegelapan penjajahan.
Namun, tak ada kehebatan yang abadi. Van Hinne, dengan dendam dan strategi liciknya, tak pernah berhenti mencari celah untuk menghancurkan Si Pitung.
Setelah gagal menangkapnya berkali-kali, ia akhirnya berhasil mengetahui kelemahan terbesar sang pendekar: jimatnya. Melalui ancaman terhadap gurunya, Hadji Naipin, Van Hinne memperoleh informasi rahasia yang membuat Pitung tak terkalahkan.
Jimat itu, diambil dengan cerdik, membuat kesaktian Pitung menguap, meninggalkannya dalam keadaan lemah.
Malam itu, di tengah pekuburan yang dingin di Tanah Abang, terdengar derap langkah tentara Belanda yang mengitari area. Angin membawa desah napas mereka yang gelisah, sadar bahwa saatnya telah tiba.
Di balik semak, tersembunyi Si Pitung, yang kini tanpa pelindung. Dalam kilatan peluru pertama, Pitung hanya terluka.
Tapi peluru berikutnya, kata orang, adalah peluru emas—satu-satunya yang mampu membunuh sang pahlawan. Tubuh Pitung jatuh terjerembab, membekas di tanah Batavia yang kelam.
Setelah Matipun Tetap Membuat Takut Belanda
Namun, kematian Si Pitung tak menghentikan legenda itu. Di pekuburan, para penjaga Belanda berdiri siaga, takut jika Pitung akan bangkit dari kuburnya.
Malam demi malam, suara-suara aneh terdengar dari liang lahatnya, membuat tentara yang berjaga bergetar ketakutan.
Beberapa bahkan mengaku melihat bayang-bayang Pitung berjalan di antara kabut, sementara yang lain bersumpah bahwa kuburannya bergetar seolah-olah jagoan Betawi itu akan hidup kembali untuk melanjutkan misinya.
Maka, hingga hari ini, nama Si Pitung hidup di hati rakyat Betawi, bergaung dalam balada dan syair Lenong.
Kisahnya, entah sebagai perampok atau pahlawan, telah menjadi bagian dari sejarah yang sulit dipisahkan.
Masyarakat masih membicarakannya, tentang seorang pria yang berdiri melawan kekuasaan dan ketidakadilan, yang tubuhnya boleh mati, tapi jiwanya terus hidup—bercokol dalam tiap sudut Batavia yang ia tinggalkan.
Si Pitung, pahlawan atau perampok, tetap menjadi bayangan yang tak bisa ditangkap, sebuah misteri yang tak pernah usai diceritakan.