Soreang: Jejak Sejarah, Pesona Alam, dan Dinamika Ibu Kota Kabupaten Bandung
RomansaBandung.com – Soreang, ibu kota Kabupaten Bandung, terselip di kaki perbukitan Bandung Selatan dan berdiri megah sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian yang berkembang pesat.
Nama Soreang sendiri berasal dari bahasa Sunda, “Soréang,” yang memiliki arti simbolis, yaitu “menoleh ke belakang.”
Makna ini bukan sekadar ungkapan, tetapi merefleksikan sejarah tempat ini sebagai lokasi peristirahatan para pengelana setelah menempuh perjalanan panjang dari berbagai arah sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke perbukitan atau dataran yang lebih tinggi.
Dahulu Bernama Kopo
Masa lalu Soreang sebagai tempat persinggahan para pejalan membangun reputasi sebagai lokasi di mana air tanah yang meresap dari gunung-gunung di sekelilingnya menciptakan mata air yang berlimpah.
Para pengelana yang tiba di Soreang sering membersihkan diri, mensucikan pikiran, dan mengumpulkan energi sebelum melanjutkan perjalanan.
Di puncak pagi, dari ketinggian yang menandai bentang alam Soreang, para petualang bisa menyaksikan kemegahan pegunungan Bandung Raya.
Gunung-gunung yang menjulang seperti Gunung Malabar, Gunung Tangkubanparahu, serta perbukitan yang berderet memberi panorama luar biasa dari segala arah.
Namun, bukan hanya bentang alam yang menjadikan Soreang istimewa.
Ketika penjajah Belanda menjejakkan kekuasaan di tanah Pasundan, Soreang muncul sebagai salah satu dari 10 kewedanaan yang membentuk pemerintahan Kabupaten Bandung.
Pada masa itu, Soreang lebih dikenal dengan nama “Kopo”, sebuah wilayah yang kemudian diabadikan menjadi nama jalan yang membentang dari Kota Bandung menuju Soreang saat ini.
Pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan Bandung ke Ciwidey pada masa kolonial menambah nilai strategis Soreang.
Sayangnya, pada 1982, jejak rel ini akhirnya berhenti beroperasi, mengakhiri cerita kereta yang pernah mengangkut hasil perkebunan teh dan kina dari dataran tinggi Ciwidey.
Ketika Indonesia berjuang meraih kemerdekaan, Soreang kembali mencatatkan peran penting dalam sejarah.
Setelah peristiwa Bandung Lautan Api, Soreang menjadi salah satu titik pertahanan dan basis bagi para pejuang yang mundur dari Bandung ke arah selatan.
Berbagai pertempuran sengit terjadi di Soreang, menguji ketahanan masyarakat yang gigih bertahan dari gempuran pasukan Sekutu dan Belanda.
Pasca revolusi, wilayah ini bertransformasi menjadi kecamatan, mencerminkan kedudukannya yang kian mantap dalam sejarah pemerintahan lokal.

Berkembang Maju Sejak Menjadi Ibukota Kabupaten Bandung
Soreang mengalami babak baru ketika statusnya dinaikkan menjadi ibu kota Kabupaten Bandung pada 1986.
Pemindahan ini menjadi simbol keperkasaan Soreang yang terus tumbuh sebagai pusat administrasi kabupaten.
Meski awalnya sempat direncanakan di Baleendah, namun banjir besar pada awal 1980-an menunjukkan bahwa Soreang adalah pilihan yang lebih tepat dan aman dari bencana alam.
Pembangunan kompleks perkantoran di Desa Pamekaran menjadi titik awal kebangkitan Soreang sebagai pusat pemerintahan baru.
Dari gedung-gedung pemerintahan, kantor-kantor layanan publik, hingga fasilitas pendukung seperti jalan raya dan area komersial, Soreang terus berbenah hingga kini.
Bagi penduduknya, Soreang bukan hanya sekadar ibu kota administratif. Kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi di sini mencerminkan keberagaman dan semangat kewirausahaan.
Sentra-sentra konveksi di daerah Sadu, Panyirapan, dan Karamatmulya menjadikan Soreang sebagai salah satu pusat industri konveksi terbesar di Kabupaten Bandung.
Produk-produk yang dihasilkan dari tangan-tangan terampil warganya mengisi pasar-pasar lokal hingga menembus pasar nasional.
Soreang juga berkembang sebagai pusat perdagangan dengan berbagai pusat perbelanjaan yang memadati kawasan kota, dari Samudra Toserba hingga Pasar Sehat Soreang.
Tidak berhenti pada perkembangan ekonomi, infrastruktur dan sarana umum di Soreang pun semakin diperkuat. Stadion Si Jalak Harupat, yang diresmikan pada 2005, menjadi salah satu stadion terbesar di Indonesia yang bertaraf internasional. Stadion ini tidak hanya menjadi kebanggaan Kabupaten Bandung, tetapi juga menjadi saksi berbagai perhelatan olahraga besar, termasuk Pekan Olahraga Nasional 2016 dan Asian Games 2018.
Seiring pembangunan yang terus berlanjut, hadir pula Jalan Tol Soreang-Pasirkoja (Soroja) yang dibuka pada akhir 2017. Jalan tol ini menghubungkan Soreang langsung dengan Kota Bandung, mempermudah akses dan mempercepat laju perkembangan kawasan Soreang.
Kini, Soreang tidak hanya dikenal karena sejarahnya, tetapi juga karena keberhasilannya bertransformasi menjadi kota yang dinamis, penuh kehidupan, dan semakin siap menyongsong masa depan.
Alun-alun Soreang, Menara 99 Sabilulungan, dan Gedung Budaya Sabilulungan berdiri tegak sebagai landmark modern yang mewakili semangat inovasi dan kearifan lokal.
Setiap akhir pekan, warga dari berbagai penjuru berkumpul di area taman kota untuk berolahraga, bersantai, atau sekadar menikmati suasana.
Pasar tumpah di Warunglobak yang ramai pada Minggu pagi menunjukkan bagaimana denyut nadi ekonomi dan sosial berkelindan di setiap sudut kota.
Seperti halnya mata air yang tak pernah kering, Soreang terus menyegarkan dirinya, menghadirkan harapan dan peluang baru bagi setiap warganya.
Di balik panorama pegunungan yang megah dan hiruk-pikuk kotanya yang berkembang, Soreang tetaplah sebuah titik pandang (viewpoint)—tempat di mana sejarah, keindahan alam, dan masa depan berjalin dalam harmoni.
Dari sini, siapa pun bisa melihat jauh ke depan, dengan menengok sejenak ke masa lalu yang penuh kebijaksanaan.


