Romansa Bandung

Stasiun Pangandaran: Kenangan yang Tersisa di Rel Waktu

(G-Maps: Fachri Ega)

“Tidak hanya wisatawan yang ingin menikmati keindahan pantai, tetapi juga para pedagang dan petani yang menggantungkan hidup pada angkutan kereta barang. “

RomansaBandung.com – Dulu, suara deru kereta api yang melintas di Pangandaran adalah bagian dari kehidupan sehari-hari warga sekitar. 

Stasiun Pangandaran, yang berdiri kokoh tak jauh dari alun-alun dan Pantai Pangandaran, menjadi tempat persinggahan para penumpang yang datang dari berbagai penjuru Jawa.

 Tidak hanya wisatawan yang ingin menikmati keindahan pantai, tetapi juga para pedagang dan petani yang menggantungkan hidup pada angkutan kereta barang. 

Sejak dibuka pada tahun 1918, stasiun ini menjadi saksi bisu pergerakan ekonomi dan wisata di Pangandaran, hingga akhirnya ditutup pada tahun 1982.

Bukan Sekedar Stasiun Biasa

Bagi warga lokal, stasiun ini lebih dari sekadar tempat pemberhentian kereta. 

Ia adalah pintu masuk menuju Pangandaran, tempat di mana harapan dan mimpi kerap menyusuri rel-rel panjang yang menghubungkan daerah pertanian dan perkebunan dengan kota-kota besar seperti Bandung dan Cilacap. 

Setiap hari, para penumpang yang datang dan pergi menciptakan kehidupan tersendiri di sekitar stasiun, sementara angkutan barang seperti kopra dan kopi robusta mengalir deras dari daerah subur ini ke seluruh penjuru.

Wisatawan lokal dan mancanegara menjadikan stasiun ini titik awal petualangan mereka di pantai yang tersohor. 

Di bawah sinar matahari yang terik, mereka turun dari kereta dengan semangat, membawa barang bawaan, sambil melangkah menuju pantai yang menunggu tak jauh dari stasiun. 

Hiruk-pikuk stasiun menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman wisata di Pangandaran.

Stasiun Pangandaran saat aktif. (G-Mapps: Myo Project)

Rencana Reaktivasi yang Selalu Gagal

Bekas Rel Kereta Api Banjr Cijulang. (G-Maps: Muhammad Kamal)

Namun, perjalanan panjang Stasiun Pangandaran berhenti di tahun 1982. 

Usia prasarana kereta yang sudah menua, dan persaingan dari moda transportasi ban karet yang terus berkembang, membuat jalur Banjar-Pangandaran-Cijulang ditutup. 

Rel-rel yang dulunya penuh kehidupan kini sunyi, tergerus oleh waktu. Stasiun yang pernah ramai oleh tawa wisatawan dan bunyi lonceng kereta kini menjadi kenangan, sepi, dan tak berfungsi lagi.

Upaya untuk menghidupkan kembali jalur kereta ini sempat berkobar pada tahun 1997, ketika ada wacana reaktivasi. Harapan sempat muncul di antara warga, namun sayangnya krisis finansial Asia yang melanda pada tahun yang sama memupuskan semua rencana itu. 

Bantalan-bantalan yang baru dipasang pun akhirnya dibongkar, meninggalkan stasiun ini dalam kesunyian yang semakin pekat.

Kini, yang tersisa hanyalah bangunan tua dengan dinding-dinding yang masih kokoh, tetapi atapnya telah lapuk dimakan usia. 

Peron, rel, dan sinyal telah lama raib, sementara bangunan ini hanya menjadi saksi diam dari masa lalu yang gemilang. 

Stasiun ini, yang dulunya menjadi nadi kehidupan Pangandaran, sekarang dimanfaatkan seadanya oleh warga setempat untuk parkir atau sekadar tempat menaruh barang.

Meski berkali-kali wacana reaktivasi digaungkan, hingga kini jalur kereta api ini masih belum menemukan kehidupan barunya. 

Pada 2018, sempat ada harapan baru ketika Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyuarakan niat untuk mengaktifkan kembali jalur-jalur mati di Jawa Barat, termasuk Banjar-Pangandaran-Cijulang. 

Namun, sampai saat ini, suara deru kereta api belum kembali terdengar di Pangandaran.