Sutardjo Kartohadikusumo: Gubernur Pertama Jawa Barat
RomansaBandung.com – Soetardjo Kartohadikusumo adalah seorang politikus Indonesia yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat pertama pada tahun 1945.
Sebagai mantan anggota Volksraad, ia juga dikenal karena Petisi Soetardjo tahun 1936.
Latar Belakang
Soetardjo lahir pada tanggal 22 Oktober 1890 di desa Kunduran, yang sekarang berada di wilayah Kabupaten Blora.
Ia adalah anak keenam dari delapan bersaudara. Ayahnya, Kartoredjo, adalah seorang kepala distrik di Tuban.
Pada usia 8 tahun, Soetardjo mulai bersekolah di Europeesche Lagere School (sekolah dasar), meskipun batas usia untuk sekolah tersebut adalah 6 tahun; menurut sebuah buku yang kemudian diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kartohadikusumo “harus dibuat 2 tahun lebih muda” agar sesuai dengan batas usia tersebut.
Ia melanjutkan studi di sekolah untuk birokrat pribumi (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Magelang, selama itu ia bergabung dengan Budi Utomo dan menjadi ketua kantor cabangnya.
Memimpin Jawa Barat dari Jakarta
Setelah magang selama satu bulan, ia diangkat sebagai asisten juru tulis di kantor Residen Rembang pada tahun 1911.
Ia kemudian dipindahkan ke kantor Kabupaten Bojonegoro dan kemudian Blora, menjabat sebagai asisten kepala distrik (wedana) antara tahun 1913 dan 1921.
Selama pekerjaan ini, ia menghadiri Sekolah Pemerintahan (Bestuurschool) di Batavia antara tahun 1919 dan 1921.
Pada tahun 1924, Soetardjo dipromosikan menjadi kepala distrik Sambong di Blora, dan pada tahun 1929 ia menjadi Wakil Bupati Gresik.
Pada tahun 1931, Soetardjo diangkat menjadi anggota Volksraad, mewakili birokrat pribumi.
Pada saat itu, ia adalah ketua asosiasi birokrat pribumi (Persatuan Pegawai Bestuur Bumiputra).
Dalam jabatannya ini, ia membuat Petisi Soetardjo tahun 1936 yang menyerukan otonomi yang lebih besar bagi pribumi di Hindia Belanda.
Soetardjo kemudian mengutip penindasan terhadap pemimpin politik sayap kiri setelah pemberontakan De Zeven Provinciƫn pada tahun 1933, dan melemahnya Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sebagai motivasi untuk petisinya.
Selama pendudukan Jepang di Hindia Belanda, Soetardjo diangkat pada tahun 1943 sebagai residen wilayah Jakarta, dan ia juga diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Ia juga memegang pangkat dalam milisi Pembela Tanah Air (PETA).
Selain itu, pada tahun 1945, ia juga menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Soetardjo adalah pendukung konsep Indonesia Raya selama masa jabatannya di BPUPK.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Soetardjo diangkat sebagai gubernur Republik Jawa Barat pada tanggal 6 September 1945.
Pada saat itu, ia dianggap sebagai juru bicara untuk kepentingan birokrasi pribumi, dan ia meyakinkan Sukarno dan Mohammad Hatta tentang dukungan mereka.
Gubernurnya berbasis di Jakarta, dan setelah kota itu diduduki oleh pasukan Sekutu, jabatan gubernur dipindahkan ke Mohammad Djamin.
Selain menjadi gubernur, ia menjabat sebagai wakil ketua Komite Nasional Indonesia Pusat, dan juga ketua Palang Merah Indonesia antara tahun 1946 dan 1948.
Ia kemudian bergabung dengan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara setelah revolusi berakhir.
Selanjutnya, ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan menjadi ketuanya. Ia meninggal pada tanggal 20 Desember 1976 di Jakarta.