Romansa Bandung

Tarawangsa: Harmoni Sakral di Tanah Sunda yang Menyentuh Jiwa

(atticmag.com)

“Tarawangsa, dalam bahasa Sunda, berarti sebuah alat gesek dengan dua dawai berbahan kawat baja atau besi.”

RomansaBandung.com – Di tanah Sunda yang kaya akan tradisi, hidup satu jenis kesenian rakyat yang disebut Tarawangsa. Bukan sekadar alat musik, Tarawangsa menyimpan kedalaman sejarah dan makna spiritual yang kuat bagi masyarakat Sunda.

Tarawangsa, dalam bahasa Sunda, berarti sebuah alat gesek dengan dua dawai berbahan kawat baja atau besi.

Satu dawainya dimainkan dengan cara digesek, sementara dawai lainnya dipetik menggunakan jari telunjuk tangan kiri.

Namun, Tarawangsa juga dikenal sebagai nama salah satu jenis musik tradisional Sunda yang khas dan berharga.

Asal Mula dan Fungsi Alat Musik Tarawangsa di Masa Lalu

ejarah Tarawangsa sangat panjang, bahkan lebih tua dari rebab, alat musik gesek lainnya. 

Sejak abad ke-18, Tarawangsa telah disebutkan dalam naskah Sewaka Darma, bukti bahwa alat musik ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sunda sebelum Islam masuk ke Nusantara. 

Di kemudian hari, rebab, alat gesek yang dibawa para pedagang dari Timur Tengah, memperkenalkan warna musik baru di Nusantara, tetapi Tarawangsa tetap bertahan sebagai warisan yang unik. 

Alat ini kerap disebut rebab jangkung atau rebab tinggi karena ukurannya yang lebih besar dibandingkan rebab. 

Secara visual, Tarawangsa mirip dengan Morin Khuur dari Mongolia, alat musik gesek serupa yang juga memancarkan keanggunan tradisional.

Pertunjukan musik Tarawangsa adalah pengalaman yang mendalam. 

Dalam ensembel Tarawangsa, suara alat gesek ini berpadukan dengan suara lembut jentreng, alat petik berdaun tujuh seperti kecapi. 

Bersama-sama, mereka menciptakan harmoni yang berpadu dalam laras pelog. 

Pertunjukan Tarawangsa tidak hanya sekadar memperdengarkan musik, tetapi menyuguhkan pengalaman sakral yang dipercaya mampu mengundang Dewi Sri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda. 

Repertoar lagu Tarawangsa beragam dan masing-masing memiliki fungsi tersendiri. 

Di Rancakalong, misalnya, terdapat tujuh lagu utama seperti Pangemat, Pangapungan, dan Panimang, yang ditujukan untuk upacara spiritual serta membawa ketenangan bagi masyarakat. 

Selain itu, ada pula lagu-lagu tambahan seperti Saur, Mataraman, dan Karatonan, yang menambah keindahan musik Tarawangsa.

Hanya Tersebar di Beberapa Daerah di Jawa Barat

Tarawangsa bukan sekadar musik yang bisa didengar di mana saja; alat musik ini hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, seperti Rancakalong di Sumedang, Cipatujah di Tasikmalaya Selatan, dan Kanekes di Banten. 

Dalam beberapa daerah seperti Cibalong dan Cipatujah, Tarawangsa ditampilkan bersama perangkat musik lain seperti calung rantay, suling, dan diiringi nyanyian. 

Berbeda dengan Rancakalong yang memiliki banyak lagu, di Banjaran dan Cibalong, jumlah lagu Tarawangsa lebih terbatas tetapi tetap membawa makna mendalam dalam setiap nada.

Selain sebagai instrumen, Tarawangsa memerlukan keterampilan khusus dalam memainkannya. 

Hanya dua pemain yang menguasai setiap pertunjukan, seorang memainkan Tarawangsa, sementara satu lagi memainkan jentreng. 

Biasanya, pemainnya adalah laki-laki berusia sekitar 50-60 tahun, kebanyakan dari mereka adalah petani. 

Pertunjukan ini biasa diadakan dalam acara adat seperti ngalaksa, sebuah upacara yang dilakukan untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil panen. 

Saat alunan musik dimulai, para penari baik laki-laki maupun perempuan turut terlibat. 

Tarian ini dilakukan untuk mengundang dan menyambut kehadiran Dewi Sri dan para leluhur. 

Gerakan yang dilakukan tidak hanya sekadar gerak fisik tetapi juga spiritual. 

Para penari seringkali mencapai kondisi trance atau kesurupan, menunjukkan keterhubungan mereka yang dalam dengan tradisi dan alam spiritual yang menyatu dalam Tarawangsa.