Tiga Sosok Belanda dan Cinta Mereka pada Priangan
RomansaBandung.com – Priangan, sebuah daerah di Jawa Barat yang dijuluki “Parahyangan” atau tempat para dewa, telah memikat banyak hati selama berabad-abad.
Tak hanya masyarakat setempat yang terpesona oleh keindahannya, tetapi juga beberapa tokoh Belanda yang datang jauh-jauh dari Eropa.
Dari perkebunan teh yang hijau hingga pegunungan yang megah, mereka bukan sekadar kolonial yang datang untuk kepentingan pribadi, tetapi menjadi bagian dari cerita yang memperkaya budaya dan kemajuan daerah ini.
Di antara mereka, tiga nama muncul sebagai tokoh yang begitu mencintai Priangan: Karel Frederik Holle, Franz Wilhelm Junghuhn, dan Karel Albert Rudolf Bosscha.
Karel Frederik Holle: Sang Penjaga Sastra Sunda

Pada abad ke-19, Karel Frederik Holle, pria kelahiran Amsterdam, meninggalkan kenyamanan Eropa menuju Parahyangan Timur.
Holle awalnya seorang pemilik perkebunan teh di Garut, tetapi hatinya terpaut pada budaya lokal, khususnya bahasa Sunda.
Ia bukan sekadar peneliti, melainkan seorang sahabat bagi masyarakat setempat.
Salah satu murid sekaligus sahabatnya adalah Muhamad Musa, seorang sastrawan Sunda yang menghasilkan karya-karya penting.
Holle percaya bahwa budaya lokal adalah harta yang harus dilestarikan.
Ia mendukung penerbitan buku-buku berbahasa Sunda dan memperjuangkan pendidikan untuk pribumi.
Di tengah hiruk-pikuk kolonialisme, Holle menjadi jembatan antara budaya Belanda dan Sunda, seorang pendatang yang benar-benar mencintai tempat barunya.
Franz Wilhelm Junghuhn: Menemukan Keindahan Alam Priangan
Jika ada yang melihat Priangan melalui mata seorang naturalis, maka itu adalah Franz Wilhelm Junghuhn.
Lahir di Jerman, Junghuhn akhirnya menjadi warga Belanda dan berkelana ke Hindia Belanda.
Sejak tiba di Batavia pada 1835, ia tidak hanya menjadi dokter, tetapi juga seorang penjelajah yang haus akan keindahan alam.
Junghuhn menjelajahi hampir setiap sudut Pulau Jawa, mendaki gunung-gunung berapi, dan memetakan daerah yang belum banyak dikenal.
Namun, Priangan memikatnya lebih dari tempat lain. Ia menemukan kedamaian di Lembang, di kaki Gunung Tangkuban Perahu, di mana akhirnya ia menetap hingga akhir hayatnya.
Kontribusinya luar biasa. Ia membuat peta Jawa yang detail, menulis buku-buku botani, dan bahkan memperkenalkan tanaman kina untuk menghasilkan obat malaria.
Sampai hari ini, makam Junghuhn yang dikelilingi pohon kina di Lembang menjadi pengingat akan cintanya pada tanah Priangan.


Karel Albert Rudolf Bosscha: Sang Dermawan Teh dan Bintang


Jika Holle mencintai budaya Sunda dan Junghuhn jatuh cinta pada alam Priangan, maka Karel Albert Rudolf Bosscha mengabdikan dirinya untuk kesejahteraan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Bosscha datang ke Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 dan mendirikan Perkebunan Teh Malabar di Pangalengan.
Namun, ia bukan hanya seorang juragan teh. Bosscha memiliki hati besar.
Ia mendirikan sekolah untuk anak-anak pribumi, memberi mereka kesempatan pendidikan yang setara, sesuatu yang langka pada masa itu.
Bosscha juga dikenal sebagai pelopor dalam ilmu pengetahuan. Dialah yang memprakarsai pembangunan Observatorium Bosscha di Lembang, yang hingga kini menjadi pusat penelitian astronomi.
Sayangnya, ia wafat sebelum sempat melihat langit melalui teleskopnya sendiri. Namun, warisannya abadi, dari perkebunan teh yang hijau hingga langit berbintang di atas Priangan.