Upah Pekerja Jalan Raya Pos di Bandung dan Sekitarnya selama Era Daendels: Berapa Mereka Dibayar?
RomansaBandung.com – Pembangunan Jalan Raya Pos, yang dimulai oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels pada 1808, merupakan salah satu proyek infrastruktur terbesar di Jawa pada masa kolonial.
Jalan ini dirancang untuk menghubungkan wilayah barat hingga timur pulau Jawa, mempercepat komunikasi, mobilisasi militer, dan transportasi logistik.
Di balik keberhasilan pembangunan jalan tersebut, terdapat kisah para pekerja yang mengorbankan tenaga dan jiwa di medan yang sulit, terutama di kawasan Bandung dan sekitarnya.
Belanda menyediakan upah kepada pekerja Jalan Raya Pos
Pembangunan jalur pertama Jalan Raya Pos dimulai dari Buitenzorg (sekarang Bogor) menuju Karangsambung (kini Kecamatan Tomo di Sumedang).
Jalur ini melintasi daerah-daerah berbukit dan sulit dijangkau, seperti Cisarua, Cianjur, Rajamandala, Bandung, hingga Parakan Muncang di Sumedang.
Dalam pelaksanaannya, upah dan kondisi kerja para pekerja disesuaikan dengan tantangan medan yang mereka hadapi.
Di jalur Cisarua menuju Cianjur, yang melewati pegunungan, medan begitu berat sehingga membutuhkan 400 pekerja.
Upah yang diberikan oleh pemerintah kepada para pekerja di jalur ini sebesar 10 ringgit perak per bulan, sebuah angka yang relatif lebih tinggi dibandingkan pekerja di jalur lain.
Jumlah pekerja dan besaran upah ini mencerminkan tingkat kesulitan dalam membangun jalan di kawasan pegunungan yang terjal, dengan banyaknya jembatan yang harus dibangun.
Dari Cianjur menuju Rajamandala, hanya dibutuhkan 150 pekerja, dan upah mereka lebih rendah, yaitu 4 ringgit perak per bulan.
Berkurangnya jumlah pekerja dan upah ini mungkin disebabkan oleh medan yang relatif lebih datar dibandingkan jalur sebelumnya.
Meski begitu, jalan ini tetap penting karena menghubungkan daerah yang strategis di Jawa Barat.
Jalur berikutnya, dari Rajamandala menuju Bandung, melibatkan 200 pekerja dengan upah 6 ringgit perak per bulan.
Pekerjaan ini meliputi pembangunan jalan di sekitar lembah dan sungai yang memerlukan tenaga ekstra untuk membangun jembatan serta menebang hutan yang lebat.
Bandung, yang pada waktu itu belum sebesar sekarang, menjadi salah satu titik penting dalam pembangunan jalan karena lokasinya yang strategis.
Saat pembangunan jalan mencapai Parakan Muncang, jumlah pekerja yang dibutuhkan hanya 50 orang, dan mereka menerima upah yang jauh lebih rendah, yakni 1 ringgit perak per bulan.
Ini adalah salah satu upah terendah yang tercatat, mungkin karena kondisi medan yang lebih mudah dan pekerja di sini hanya bertugas merapikan jalur yang sudah ada.
Perjalanan dari Parakan Muncang menuju Sumedang kembali menemui medan yang menantang.
Sebanyak 150 pekerja dikerahkan untuk menembus lereng gunung dan hutan lebat, dengan upah sebesar 5 ringgit perak per bulan.
Daendels mengakui beratnya medan ini, sehingga kebijakan upah dan bantuan untuk para pekerja di jalur ini pun ditingkatkan.
Salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan Jalan Raya Pos adalah di jalur Sumedang menuju Karangsambung.
Pekerja di jalur ini mendapatkan upah sebesar 4 ringgit perak per bulan.
Selain itu, pemerintah juga memberikan bantuan tambahan berupa 1,5 pon beras setiap hari dan 5 pon garam setiap bulan. Bantuan ini diberikan sebagai bentuk kompensasi atas kerasnya medan dan kondisi kerja yang berat.
Pada Maret 1809, para pekerja yang membangun jalan di sekitar Cianjur hingga Sumedang diberi alat-alat kerja seperti kapak dan peralatan lainnya untuk membantu proses pembangunan.
Selain itu, para pekerja yang berasal dari Cirebon dan Vorstenlanden (kawasan kerajaan Jawa Solo-Yogya) juga diberi upah tambahan sebesar dua ringgit perak per bulan, ditambah tiga gantang beras.
Sementara itu, para mandor, yang bertugas mengawasi para pekerja, menerima tiga ringgit perak per bulan.

