Romansa Bandung

Walaupun berada di Asia, Mengapa Israel Absen dalam Konferensi Bersejarah di Bandung? Inilah alasannya!

Konferensi Asia-Afrika di Bandung Tahun 1955

“Sikap Indonesia dalam mengecam tindakan kekerasan Israel terhadap Palestina tidaklah baru. Sikap ini sudah terlihat sejak Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955, ketika Indonesia dan negara-negara lain di kawasan bersatu dalam mendukung hak kemerdekaan Palestina.”

RomansaBandung.com – Konflik Israel-Palestina telah kembali memuncak dengan kekerasan yang meningkat, setelah kelompok perlawanan Palestina, khususnya Hamas yang menguasai Jalur Gaza, melancarkan serangan mendadak ke wilayah Israel.

Israel, yang berang dengan Hamas, melakukan serangan udara di sejumlah lokasi yang mereka anggap sebagai tempat persembunyian pejuang Hamas. 

Tapi, dalam beberapa kasus, titik-titik ini ternyata adalah tempat pengungsian warga sipil yang berusaha mencari perlindungan dari kekerasan.

Situasi semakin memburuk ketika Israel merusak sebuah rumah sakit kristen yang mengakibatkan lebih dari 500 warga Palestina tewas dalam satu serangan. 

Meskipun Israel berdalih bahwa serangan tersebut dilakukan sebagai respons terhadap serangan dari pihak Hamas, dunia internasional dengan tegas mengecam tindakan Israel, terutama karena serangan tersebut lebih sering mengenai target sipil daripada militer.

Indonesia, dalam menanggapi keganasan Israel, mengutuk serangan tersebut dan menyatakan dukungan yang kuat terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina. 

Sikap Indonesia dalam mengecam tindakan kekerasan Israel terhadap Palestina tidaklah baru. Sikap ini sudah terlihat sejak Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955, ketika Indonesia dan negara-negara lain di kawasan bersatu dalam mendukung hak kemerdekaan Palestina.

Israel tak diikutsertakan dalam Konferensi Asia-Afrika

Pada tahun 1955, di kota Bandung, Indonesia, berlangsung Konferensi Asia-Afrika yang bertujuan untuk menjadi panggung bagi negara-negara baru merdeka di Asia dan Afrika. 

Acara bersejarah ini dirancang untuk mempromosikan kerja sama antarnegara yang baru saja merdeka atau masih berjuang untuk mencapai kemerdekaan mereka. 

Namun, satu negara di wilayah tersebut, Israel, tidak diundang untuk berpartisipasi dalam konferensi ini.

Ketidakundangan Israel di Konferensi Asia-Afrika pertama berakar dari konflik politik yang kompleks, terutama terkait dengan status wilayah Palestina. 

Israel dianggap sebagai negara penjajah yang mencaplok tanah Palestina, sebuah permasalahan yang telah memunculkan berbagai ketegangan dan konflik di wilayah tersebut. 

BACA JUGA INI!

Pada tahun 1948, pecahlah perang Arab-Israel yang berakhir dengan kekalahan koalisi negara-negara Arab dan mengakibatkan jutaan orang Palestina terusir dari tanah air mereka.

Dalam konteks ini, negara-negara Arab dan mayoritas negara Muslim menolak kehadiran Israel di Konferensi Asia-Afrika. 

Israel dianggap sebagai negara yang melakukan penjajahan dan pendudukan terhadap wilayah Palestina, yang menjadi sorotan utama dalam konflik di Timur Tengah. 

Ketidaksetujuan politik yang kuat antara sebagian besar negara Arab dan Israel menjadi faktor penentu yang mencegah Israel mendapatkan undangan untuk berpartisipasi dalam konferensi tersebut.

Tawanan Arab yang ditangkap Israel selama kekalahan negara-negara Arab di Perang Tahun 1948
Warga Arab Palestina yang melarikan diri dan mengungsi ke Suriah setelah Israel merebut wilayah mereka
Luas wilayah Palestina yang semakin mengecil

Jalan berliku menuju pengakuan dan solusi untuk Palestina

Selepas Konferensi Asia-Afrika ada berbagai rencana yang telah diajukan dalam upaya menjadikan negara Palestina sebagai entitas yang benar-benar berdaulat. 

Rencana-rencana ini mencakup berbagai pendekatan yang telah diperdebatkan dan didiskusikan dalam upaya mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat. Beberapa rencana yang lebih menonjol termasuk:

Rencana Pendirian Negara Palestina
Salah satu rencana utama adalah pendirian negara Palestina yang mencakup wilayah dari Jalur Gaza hingga Tepi Barat. 

Dalam rencana ini, ibu kota negara Palestina diusulkan berada di Yerusalem Timur, yang akan menjadikan garis Gencatan Senjata 1949, dengan beberapa perubahan mungkin, sebagai perbatasan de jure permanen. 

Rencana ini memiliki akar dalam rencana perdamaian yang diajukan oleh Arab Saudi pada Maret 2002, yang diterima oleh Otoritas Palestina dan negara-negara Liga Arab lainnya. 

Dalam pertukaran atas penarikan Israel, dunia Arab akan memberikan pengakuan penuh dan hubungan diplomatik penuh dengan Israel. 

Namun, rencana ini tidak hanya membahas masalah pengungsi, dan ada ketegangan terkait hak Palestina untuk kembali ke wilayah Israel pra-1967.

Rencana Perdamaian yang Terbatas
Selain rencana pendirian negara Palestina, ada juga rencana yang lebih terbatas, di mana beberapa bagian dari Gaza dan Tepi Barat yang saat ini diduduki oleh Israel atau memiliki kepentingan strategis tertentu tetap berada di bawah kendali Israel. 

Dalam rencana ini, wilayah yang saat ini menjadi bagian dari Israel dapat dialokasikan ke negara Palestina sebagai kompensasi. Status Yerusalem tetap menjadi isu yang sangat kontroversial dalam konteks ini.

Rencana Perdamaian Elon
Sebuah rencana yang diusulkan oleh mantan menteri pariwisata Israel, Binyamin Elon, dikenal sebagai “Rencana Perdamaian Elon.” 

Rencana ini mendukung perluasan wilayah Israel hingga mencapai Sungai Yordan sambil mengakui dan mengembangkan Yordania sebagai Negara Palestina. 

Namun, perlu dicatat bahwa ini adalah rencana yang populer di kalangan sayap kanan Israel.

Rencana “The Arc” dari RAND
Sebuah solusi yang diajukan oleh RAND, yang disebut “The Arc,” mencakup penggabungan Tepi Barat dengan Gaza melalui pembangunan infrastruktur. 

Rencana ini mencakup berbagai rekomendasi mulai dari perencanaan sipil hingga reformasi perbankan dan mata uang.

Rencana Pembagian Gaza dan Tepi Barat:
Rencana lain yang telah mendapatkan dukungan adalah di mana Jalur Gaza diberikan kemerdekaan sebagai enklave atau daerah kantong Palestina, sementara bagian Tepi Barat dibagi antara Israel dan Yordania. 

Dalam konteks ini, masalah Yerusalem dapat dikelola oleh administrasi pihak ketiga seperti PBB, seperti yang diusulkan dalam rencana pembagian awal mereka.

Selain rencana-rencana tersebut, juga ada berbagai pendekatan yang telah diambil oleh berbagai negara dan entitas yang mengakui entitas Palestina secara terpisah dari Israel. 

Pengakuan semacam ini telah berkembang seiring waktu dan mencakup negara-negara di berbagai wilayah seperti Liga Arab, Afrika, Asia, serta beberapa negara Eropa. 

Selain itu, badan olahraga internasional seperti Komite Olimpiade Internasional dan FIFA juga telah mengakui keberadaan tim Palestina sebagai entitas terpisah.

Semua upaya dan rencana ini mencerminkan usaha bersama untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan untuk konflik Israel-Palestina, meskipun isu-isu yang kompleks dan kontroversial terus menjadi penghambat dalam perjalanan menuju perdamaian dan kemerdekaan Palestina.